A.
Dikotomi Birokrasi dan Politik
Di Indonesia atau kebanyakan negara
berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif, atau
preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat
pembangunan yang utama.[1] Sebagai alat utama pembangunan,
birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai
berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan,
usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan
birokrasi. Karena perannya yang fital, maka birokrasi dituntut untuk
memaksimalkan kinerja dan bebas kepentingan.
Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam
dinamika pemerintahan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Tarik-menarik kepentingan antara politik dan kekuasaan berpengaruh
kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang
seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi
melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat
ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin
birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap
tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan
berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Sementara itu, masyarakat selama ini
masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan
pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Oleh karenanya,
relasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga
birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai
abdi kekuasaan. Politik birokrasi, kalau boleh dikatakan demikian, adalah
politik kenegaraan danbukan politik kekuasaan.
Beberapa aspek yang bisa digunakan untuk
digunakan sebagai basis analisis.[2] Pertama, bahwa pemerintah adalah
salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan
eksekutif. Wilayah eksekutif dalam konsep ini adalah Presiden dan Wakil
Presiden yang dipilih melalui pemilu, termasuk Menteri kabinet dan staf di
lingkungan kepresidenan dan kementerian.
Kedua, administrasi negara sebagai organ
birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara,
di antaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa
pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya, aparat negara
bukanlah melulu aparat pemerintah.
Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan
administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung
melayani kekuasaan, daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan
masyarakat.
Keempat, administrasi negara dengan
administrasi pemerintah perlu dipisahkan dengan mereposisi administrasi negara
ke dalam bingkai negara, sehingga administrasi negara benar-benar merupakan
abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi pemerintah.
B.
PNS
sebagai Mesin Politik[3]
Masyarakat umum masih beranggapan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) pekerjaan
yang menjanjikan dan berkelas. Terbukti, masyarakat masih sangat antusias untuk
mendaftar ketika ada perekrutan CPNS. Berharganya posisi PNS juga diakibatkan
dari pandangan masyarakat yang beranggapan seorang PNS lebih terjamin hidupnya.
Dengan gaji tetap dan berbagai tunjangan yang menggiurkan. Selain itu, seorang
PNS dilihat sebagai cerminan dari kaum terpelajar yang bisa menjadi panutan
dalam masyarakat. Tidak heran biasanya seorang PNS menjadi tokoh atau
ditokohkan dalam suatu lingkup masyarakat.
Posisi sebagai aparatur negara menjadikan seorang PNS dianggap bagian dari
negara itu sendiri, sehingga hal ini juga membuat posisi PNS tinggi di
masyarakat. Di beberapa derah bahkan posisi PNS cukup kuat untuk mempengaruhi
opini publik. Posisi yang cukup strategis seperti itulah yang seringkali
membuat partai politik menempatkan PNS sebagai terget penting untuk
‘memasarkan’ partai atau calon pemimpin kala pemilu maupun pemilukada
berlangsung.
PNS sebagai administrasi negara lebih mudah untuk melakukan persuasi
karena intensitas mereka yang selalu bersinggungan dengan masyarakat. Sehingga
tidak heran jika PNS menjadi tangan sakti politik atau penguasa. Ada beberapa
hal yang menyebabkan ketidaknetralan PNS, salah satunya adalah keinginan
PNS untuk mempercepat kenaikan pangkatnya. Ketika oknum PNS berhasil
memperjuangan salah satu calon terntu untuk naik menjadi kepala daerah, tentu
saja dia akan mendapatkan kompensasi untuk naik pangkat.
Artinya ketidaknetralan PNS dalam pemilukada tidak sepenuhnya disebabkan
oleh pribadi masing-masing orang. Sistem kenaikan pangkat selama ini yang
terkadang ditetapkan oleh pejabat pembina PNS seperti gubernur, bupati atau
walikota juga menjadi sebab ketidaknetralan PNS. Sistem kenaikan pangkat
seperti itu membuat nasib pangkat PNS seakan berada di tangan pejabat. Tentu
saja hal itu membuka peluang bagi para pejabat memanfaatkan kondisi tersebut
untuk mempengaruhi PNS terkait, karena sang pejabat merasa berkuasa atas nasib
PNS.
Semangat reformasi birokrasi yang dielu-elukan di beberapa instansi
pemerintah selayaknya memposisikan kenetralan PNS sebagai salah satu fokus yang
harus dibenahi. Jangan sampai posisi terhormat PNS sebagai birokrasi yang
bertugas untuk melayani masyarakat berubah menjadi birokrasi politik yang juga
melakukan kerja-kerja politik.
C.
Transaksi dalam Rekrutmen PNS
Sudah menjadi rahasia umum di setiap daerah, booking
jatah PNS bagi orang-orang yang mampu membayar mahal. Ini merupakan fenomena
yang menarik untuk dikaji, karena dalam prakteknya, panitia seleksi PNS tidak
berjalan sendiri, akan tetapi secara off the record direstui oleh
pemerintahan yang berkuasa. Tentu menjadi pertanyaan, apakah mereka memang
ditekan oleh pemerintah daerah untuk memberikan upeti atas jabatan yang mereka
dapatkan, sehingga mereka kemudian menjalankan modus transaksi ini sebagai
bagian dari upaya untuk balas jasa. Atau malah sebaliknya, PNS sebagai
administrasi negara di daerah merasa memiliki otoritas dalam proses seleksi
PNS, sehingga mereka juga memiliki kewenangan untuk menerima keuntungan dari
setiap kegiatan mereka.
Inilah yang masih belum jelas dalam fenomena transaksi
rekrutmen PNS, netralitas birokrasi kembali dipertanyakan. Jika yang terjadi
adalah pemerintah daerah menekan birokrasi untuk memungut uang dari para calon
PNS, maka birokrasi di daerah tidak bisa menolak karena taruhannya adalah
jabatan mereka. Maka yang terjadi adalah politisasi birokrasi. Sedangkan
apabila birokrasi yang memiliki inisiatif untuk menarik uang dari seleksi calon
PNS, maka yang terjadi adalah birokrasi politik. Karena selain uang hasil
pungutan mereka gunakan untuk pribadi, uang tersebut juga akan disetor kepada
kepala daerah sebagai investasi mereka agar tetap bertahan dengan jabatan
mereka atau malah untuk naik jabatan.
Kasus transaksi dalam seleksi calon PNS ini menjadi menarik
karena nominal uang
suap Calon PNS, menurut berbagai sumber, dalam setahun menembus angka Rp. 30
triliun.[4] Uang ini kemudian diduga mengalir ke kantong kepala daerah. Uang haram itu biasanya
dipergunakan untuk menambal biaya kepala daerah saat ikut dalam pesta pemilihan
kepala daerah. Hal itu terjadi mulai dari tingkat gubernur, walikota dan
bupati. Ini cukup
beralasan karena jika di lihat dari kenyataan yang terjadi
selama ini, untuk menjadi seorang kepala daerah biasanya harus mengeluarkan
biaya yang besar, sehingga mereka akan
mati-matian untuk mendapatkan uang mereka kembali. Birokrasi sebagai
implementator kemudian dijadikan sebagai mesin pencetak uang dengan iming-iming
kenaikan pangkat dan lain sebagainya.
Dari berbagai kasus yang ada, penting kiranya untuk
memperbaiki sistem dalam seleksi penerimaan calon PNS ini. Harus ada tindakan
tegas dan monitor, sebagai salah satu langkah menuju reformasi birokrasi
seperti yang didengung-dengungkan. Birokrasi harus memiliki kompetensi yang
sesuai dengan bidangnya, maka dalam penjaringan PNS yang baru harus melalui
seleksi yang masif. Mereka yang berani
membayar lebih, rata-rata tidak memiliki kompetensi yang memadai, sehingga
nantinya hanya akan memperburuk citra birokrasi di tanah air.
[2] Netralitas Birokrasi: Menjernihkan Pola Hubungan
Pemerintah dan Birokrasi http://www.scribd.com/doc/3825146/Netralitas-Birokrasi
0 komentar:
Posting Komentar