Senin, 16 Juli 2012

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP; Kerjasama Pemerintah dan Privat dalam Pembangunan Infrastruktur


A.   Pengertian PPP[1]
"Public-private partnership" adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan hubungan yang terjadi diantara sektor publik (pemerintah) dan pihak swasta dalam konteks pembangaunan infrastruktur dan pelayanan lain. PPP merupakan bentuk kerjasama antara pelaku pembangunan untuk dapat mencapai keberhasilan pembangunan melalui pencapaian investasi. Pelaku PPP terdiri dari Pemerintah, masyarakat, investor/pengusaha dan juga NGO. Para pelaku tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda-beda dalam melakukan pembangunan.
Ada tiga kebutuhan utama yang memotivasi pemerintah untuk terlibat dalam PPP antara lain adalah:
1.    Untuk menarik penanaman modal pribadi.
Pemerintah bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan seiring pertumbuhan populasi, sehingga pemerintah harus memiliki cukup pembiayaan untuk pembangunan. Maka untuk pemenuhan pembiayaan dan memelihara infrastruktur, pemerintah harus menggandeng swasta. Dengan adanya PPP, memungkinkan sektor swasta untuk mencari kesempatan berinvestasi agar sumber daya yang belum digunakan dari lokal, regional, atau internasional dapat dimanfaatkan. Tujuan dari sektor swasta selain untuk mendapatkan laba adalah juga untuk dapat membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan.
2.    Untuk meningkatkan efisiensi dan menggunakan sumberdaya lebih efektif.
Sumber daya alam yang semakin langka jumlahnya menjadi tantangan kritis bagi pemerintah. Pemerintah tidak akan mampu lagi melakukan pembangunan jika hanya melibatkan dirinya sendiri, Oleh karena, itu, diperlukan adanya kerjasama dengan sektor publik yang memahami dan memiliki cara untuk menggunakan sumberdaya se-efisien mungkin.
3.    Untuk memperbaiki sektor melalui realokasi aturan, insentif, dan tanggung jawab.
Dalam public-private partnership ada tiga karakteristik kunci agar proses pembangunan dapat berjalan, antara lain:
-       Memiliki perjanjian kontrak yang menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing.
-       Menanggung resiko bersama, timbal balik finansial kepada sektor privat yang sepadan dengan hasil pencapaian yang diinginkan sektor publik.
B.   Public-Private Patnership dalam Pembangunan Infrastruktur
Dalam menjalankan tugas dan peranannya, pemerintah senantiasa berupaya menyediakan barang-barang kebutuhan dan pelayanan yang baik untuk warganya, terutama dalam penyediaan infrastruktur. Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah bagi warga negaranya karena infrastruktur tidak hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods, oleh karena itu,  pemerintah memiliki kepentingan untuk membangun infrastruktur yang merupakan hal penting bagi masyarakat.[2]
Terbatasnya dana yang dimiliki oleh pemerintah, membuat pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti jalan, jembatan, jaringan air minum, dan pelabuhan. Alasan ini juga yang menjadi alasan mengapa pemerintah merasa penting untuk menggandeng swasta dalam pelaksanaan pembangunan.
Bentuk kerjasama haruslah memang untuk kepentingan pembangunan bukan untuk kepentingan di luar itu. Kerjasama ini bisanya muncul pada situasi dimana kompetisi dalam pasar tidak berkembang dengan baik, karena adanya monopoli alamiah atau kondisi struktur yang kurang mendukung. Dengan adanya konsesi diharapkan peluang terciptanya persaingan di pasar dapat terbuka sehingga memberikan keuntungan bagi konsumen. Beberapa bentuk kerjasama dalam bingkai PPP, antara lain:[3]
1.    Kontrak Servis
Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi (fee).
Beberapa contoh Kontrak Servis:
-       Kontrak pembersihan jalan
-       Pengumpulan dan pembuangan sampah
-       Pemeliharaan jalan
-       Pengerukan kali
-       Jasa mobil derek
2.    Kontrak Manajemen
Pernerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation dan maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap (fixed fee).
Beberapa contoh Kontrak Manajemen:
-       Perbaikan dan pemeliharaan jalan
-       Pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landfill)
-       Pengoperasian instalasi pengolahan air (water treatment plant)
-       Pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, stadion olahraga, tempat parkir, sekolah)
3.    Kontrak Sewa (lease)
Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun.
Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease):
-       Taman hiburan (entertainment complex)
-       Terminal Udara/Bandara
-       Armada bis atau transportasi lainnya
4.    Kontrak Build-Operate-Transfer (BOT)
BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.
5.    Kontrak Konsesi
Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggung jawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan membangun suatu aset infrastruktur, serta memberikan hak untuk mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20 tahun sampai 35 tahun.
Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease):
-       Pelabuhan Udara (keseluruhan atau sebagian)
-       Jalan Tol
-       Pelabuhan Laut
-       Penyediaan dan distribusi air bersih
-       Rumah Sakit
-       Fasilitas olahraga
C.   Studi Kasus; Rencana Pembangunan Tol Dalam Kota di Jakarta[4]
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menargetkan penandatangan perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) proyek enam ruas tol dalam kota Jakarta dilaksanakan pada September 2012. Hal itu menyusul pengajuan surat penawaran proyek oleh PT. Jakarta Tollroad Development (JTD).
Panitia Lelang Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) untuk Proyek Enam Ruas Tol Dalam Kota masih akan melakukan penelaahan setelah surat penawaran diajukan, dan setelah dilakukan evaluasi, negosiasi, dan kesepakatan, hal itu akan dituangkan dalam kontrak PPJT antara badan usaha jalan tol dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Langkah tersebut dilakukan untuk percepatan pembangunan proyek tersebut.
Dokumen penawaran yang diserahkan terdiri atas dua bagian yakni detail teknis seperti desain dan gambar, serta bagian kedua berupa proposal keuangan. Selanjutnya, pihak PT Jakarta Tollroad Development (JTD) selaku pihak swasta yang akan bekerjasama dengan pemerintah akan menunggu dokumen dibuka oleh BPJT guna diverifikasi isiannya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menerbitkan surat penetapan lokasi pembangunan (SP2LP) Enam Ruas Tol Dalam Kota pada 11 April 2012. Surat Keterangan mengenai SP2LP dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur DKI No 598/2012. SK tersebut menyebutkan lokasi proyek melewati lima wilayah di DKI yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Berdasarkan SP2LP tersebut, panjang proyek ditetapkan sepanjang 69.770 kilometer dan lebar 25,88 meter.
Dengan diterbitkannya SP2LP, maka proses pémbebasan tanah diperkirakan bisa dilakukan pada awal 2013. Pasalnya, pemerintah perlu menetapkan Tim Pembebasan Tanah (TPT) dan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) sebelum pembebasan tanah dilaksanakan. Proses pembebasan tanah harus disesuaikan dengan aturan baru. Pasalnya, pemerintah segera menerbitkan Perpres Pengadaan Tanah yang merupakan turunan dari UU No 12/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sementara itu, enam ruas tol Lingkar Dalam Kota Jakarta akan dibangun dengan nilai investasi Rp 40,02 triliun. Pembangunan proyek dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pembangunan ruas Semanan-Sunter sepanjang 17,88 kilometer senilai Rp 9,76 triliun dan ruas Sunter-Bekasi Raya (11 km) senilai Rp 7,37 triliun. Tahap selanjutnya adalah pembangunan ruas tol Duri Pulo-Kampung Melayu (11,38 km) senilai Rp 5,96 triliun dan Kemayoran-Kampung Melayu (9,65 km) senilai Rp 6,95 triliun. Tahap ketiga adalah pembangunan ruas tol koridor Ulujami-Tanah Abang (8,27 km) senilai Rp 4,25 triliun. Tahap terakhir adalah pembangunan ruas jalan tol Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 kilometer senilai Rp 5,71 triliun.
Analisis
Rencana pembangunan tol dalam kota yang melibatkan pihak swasta dalam pelaksanaannya sebagai pelaksana proyek ini merupakan salah satu contoh penerapan public-private partnership di Indonesia. Pemerintah tentunya tidak bias melakukan proyek ini jalan tol dalam kota ini sendiri karena keterbatasan sarana dan prasarana.
Dalam penerapan PPP, tentu banyak hal yang menjadi pertimbangan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Aidan R. Vining dan Anthony E. Boardman dalam Public–Private Partnerships; Eight Rules for Governments, setidaknya ada delapan hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menggandeng pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur.
Rencana pembangunan Tol Dalam Kota ini sudah memenuhi salah satu dari delapan syarat Aidan dan Anthony, yakni Establish A Jurisdictional P3 Constitution (membangun sebuah yurisdiksi konstitusi PPP), yang salah satu fungsinya adalah memberi kesempatan kepada publik untuk melakukan kontrak kerjasama serta member jaminan kredibilitas patner (private) yang jelas.[5]  Seperti yang dipaparkan di atas, rencana pembangunan tol dalam kota ini sudah diumumkan jauh-jauh hari sebelum tanggal tender dilaksanakan. Rincian pelaksanaannya juga sudah diumumkan oleh pemerintah sebagai bahan pertimbangan bagi pemilik proyek untuk melakukan kajian mendalam tentang rencana pembangunan tol tersebut.


[1] Public-private partnership: http://punyanasyifa.blogspot.com/2011/04/publik-private-patnership.html
[2] Dalam http://www.kppu.go.id/id/kerjasama-pemerintah-dan-swasta-pada-sektor-infrastruktur/
[3] Public-private partnership: http://punyanasyifa.blogspot.com/2011/04/publik-private-patnership.html
[4] http://pkps.bappenas.go.id/index.php/berita/143-berita-internal/1030-september-ppjt-proyek-6-tol-dalam-kota-diteken
[5] Aidan R. Vining dan Anthony E. Boardman, Public–Private Partnerships; Eight Rules for Governments. (Jurnal Public Works Management & Policy, Volume 13 Number 2, October 2008)



NETRALITAS BIROKRASI; PNS SEBAGAI MESIN POLITIK (Antara Politisasi Birokrasi dan Birokrasi Politik)


A.   Dikotomi Birokrasi dan Politik

Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yang utama.[1] Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi. Karena perannya yang fital, maka birokrasi dituntut untuk memaksimalkan kinerja dan bebas kepentingan.
Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tarik-menarik kepentingan antara politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Sementara itu, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Oleh karenanya, relasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan. Politik birokrasi, kalau boleh dikatakan demikian, adalah politik kenegaraan danbukan politik kekuasaan.
Beberapa aspek yang bisa digunakan untuk digunakan sebagai basis analisis.[2] Pertama, bahwa pemerintah adalah salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif. Wilayah eksekutif dalam konsep ini adalah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih melalui pemilu, termasuk Menteri kabinet dan staf di lingkungan kepresidenan dan kementerian.
Kedua, administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya, aparat negara bukanlah melulu aparat pemerintah.
Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat.
Keempat, administrasi negara dengan administrasi pemerintah perlu dipisahkan dengan mereposisi administrasi negara ke dalam bingkai negara, sehingga administrasi negara benar-benar merupakan abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi pemerintah.

B.   PNS sebagai Mesin Politik[3]

Masyarakat umum masih beranggapan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) pekerjaan yang menjanjikan dan berkelas. Terbukti, masyarakat masih sangat antusias untuk mendaftar ketika ada perekrutan CPNS. Berharganya posisi PNS juga diakibatkan dari pandangan masyarakat yang beranggapan seorang PNS lebih terjamin hidupnya. Dengan gaji tetap dan berbagai tunjangan yang menggiurkan. Selain itu, seorang PNS dilihat sebagai cerminan dari kaum terpelajar yang bisa menjadi panutan dalam masyarakat. Tidak heran biasanya seorang PNS menjadi tokoh atau ditokohkan dalam suatu lingkup masyarakat.
Posisi sebagai aparatur negara menjadikan seorang PNS dianggap bagian dari negara itu sendiri, sehingga hal ini juga membuat posisi PNS tinggi di masyarakat. Di beberapa derah bahkan posisi PNS cukup kuat untuk mempengaruhi opini publik. Posisi yang cukup strategis seperti itulah yang seringkali membuat partai politik menempatkan PNS sebagai terget penting untuk ‘memasarkan’ partai atau calon pemimpin kala pemilu maupun pemilukada berlangsung.
PNS sebagai administrasi negara lebih mudah untuk melakukan persuasi karena intensitas mereka yang selalu bersinggungan dengan masyarakat. Sehingga tidak heran jika PNS menjadi tangan sakti politik atau penguasa. Ada beberapa hal yang menyebabkan ketidaknetralan PNS, salah satunya adalah keinginan PNS untuk mempercepat kenaikan pangkatnya. Ketika oknum PNS berhasil memperjuangan salah satu calon terntu untuk naik menjadi kepala daerah, tentu saja dia akan mendapatkan kompensasi untuk naik pangkat.
Artinya ketidaknetralan PNS dalam pemilukada tidak sepenuhnya disebabkan oleh pribadi masing-masing orang. Sistem kenaikan pangkat selama ini yang terkadang ditetapkan oleh pejabat pembina PNS seperti gubernur, bupati atau walikota juga menjadi sebab ketidaknetralan PNS. Sistem kenaikan pangkat seperti itu membuat nasib pangkat PNS seakan berada di tangan pejabat. Tentu saja hal itu membuka peluang bagi para pejabat memanfaatkan kondisi tersebut untuk mempengaruhi PNS terkait, karena sang pejabat merasa berkuasa atas nasib PNS.
Semangat reformasi birokrasi yang dielu-elukan di beberapa instansi pemerintah selayaknya memposisikan kenetralan PNS sebagai salah satu fokus yang harus dibenahi. Jangan sampai posisi terhormat PNS sebagai birokrasi yang bertugas untuk melayani masyarakat berubah menjadi birokrasi politik yang juga melakukan kerja-kerja politik.

C.   Transaksi dalam Rekrutmen PNS

Sudah menjadi rahasia umum di setiap daerah, booking jatah PNS bagi orang-orang yang mampu membayar mahal. Ini merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji, karena dalam prakteknya, panitia seleksi PNS tidak berjalan sendiri, akan tetapi secara off the record direstui oleh pemerintahan yang berkuasa. Tentu menjadi pertanyaan, apakah mereka memang ditekan oleh pemerintah daerah untuk memberikan upeti atas jabatan yang mereka dapatkan, sehingga mereka kemudian menjalankan modus transaksi ini sebagai bagian dari upaya untuk balas jasa. Atau malah sebaliknya, PNS sebagai administrasi negara di daerah merasa memiliki otoritas dalam proses seleksi PNS, sehingga mereka juga memiliki kewenangan untuk menerima keuntungan dari setiap kegiatan mereka.
Inilah yang masih belum jelas dalam fenomena transaksi rekrutmen PNS, netralitas birokrasi kembali dipertanyakan. Jika yang terjadi adalah pemerintah daerah menekan birokrasi untuk memungut uang dari para calon PNS, maka birokrasi di daerah tidak bisa menolak karena taruhannya adalah jabatan mereka. Maka yang terjadi adalah politisasi birokrasi. Sedangkan apabila birokrasi yang memiliki inisiatif untuk menarik uang dari seleksi calon PNS, maka yang terjadi adalah birokrasi politik. Karena selain uang hasil pungutan mereka gunakan untuk pribadi, uang tersebut juga akan disetor kepada kepala daerah sebagai investasi mereka agar tetap bertahan dengan jabatan mereka atau malah untuk naik jabatan.
Kasus transaksi dalam seleksi calon PNS ini menjadi menarik karena nominal uang suap Calon PNS, menurut berbagai sumber, dalam setahun menembus angka Rp. 30 triliun.[4] Uang ini kemudian diduga mengalir ke kantong kepala daerah. Uang haram itu biasanya dipergunakan untuk menambal biaya kepala daerah saat ikut dalam pesta pemilihan kepala daerah. Hal itu terjadi mulai dari tingkat gubernur, walikota dan bupati. Ini cukup beralasan karena jika di lihat dari kenyataan yang terjadi selama ini, untuk menjadi seorang kepala daerah biasanya harus mengeluarkan biaya yang besar, sehingga mereka akan mati-matian untuk mendapatkan uang mereka kembali. Birokrasi sebagai implementator kemudian dijadikan sebagai mesin pencetak uang dengan iming-iming kenaikan pangkat dan lain sebagainya.
Dari berbagai kasus yang ada, penting kiranya untuk memperbaiki sistem dalam seleksi penerimaan calon PNS ini. Harus ada tindakan tegas dan monitor, sebagai salah satu langkah menuju reformasi birokrasi seperti yang didengung-dengungkan. Birokrasi harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidangnya, maka dalam penjaringan PNS yang baru harus melalui seleksi yang masif.  Mereka yang berani membayar lebih, rata-rata tidak memiliki kompetensi yang memadai, sehingga nantinya hanya akan memperburuk citra birokrasi di tanah air.


[1] Soedjatmoko, Dimensi manusia dalam pembangunan, cetakan III, (Yogyakarta: LP3ES, 1986) hal 176.
[2] Netralitas Birokrasi: Menjernihkan Pola Hubungan Pemerintah dan Birokrasi http://www.scribd.com/doc/3825146/Netralitas-Birokrasi
[3] Opini dalam http://politik.kompasiana.com/2012/02/02/jual-beli-pns-untuk-kepentingan-politik/
[4] http://korankepri.wordpress.com/2012/02/28/suap-cpns-mengalir-ke-kepala-daerah-2/