Senin, 16 Juli 2012

PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP; Kerjasama Pemerintah dan Privat dalam Pembangunan Infrastruktur


A.   Pengertian PPP[1]
"Public-private partnership" adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan hubungan yang terjadi diantara sektor publik (pemerintah) dan pihak swasta dalam konteks pembangaunan infrastruktur dan pelayanan lain. PPP merupakan bentuk kerjasama antara pelaku pembangunan untuk dapat mencapai keberhasilan pembangunan melalui pencapaian investasi. Pelaku PPP terdiri dari Pemerintah, masyarakat, investor/pengusaha dan juga NGO. Para pelaku tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda-beda dalam melakukan pembangunan.
Ada tiga kebutuhan utama yang memotivasi pemerintah untuk terlibat dalam PPP antara lain adalah:
1.    Untuk menarik penanaman modal pribadi.
Pemerintah bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan seiring pertumbuhan populasi, sehingga pemerintah harus memiliki cukup pembiayaan untuk pembangunan. Maka untuk pemenuhan pembiayaan dan memelihara infrastruktur, pemerintah harus menggandeng swasta. Dengan adanya PPP, memungkinkan sektor swasta untuk mencari kesempatan berinvestasi agar sumber daya yang belum digunakan dari lokal, regional, atau internasional dapat dimanfaatkan. Tujuan dari sektor swasta selain untuk mendapatkan laba adalah juga untuk dapat membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan.
2.    Untuk meningkatkan efisiensi dan menggunakan sumberdaya lebih efektif.
Sumber daya alam yang semakin langka jumlahnya menjadi tantangan kritis bagi pemerintah. Pemerintah tidak akan mampu lagi melakukan pembangunan jika hanya melibatkan dirinya sendiri, Oleh karena, itu, diperlukan adanya kerjasama dengan sektor publik yang memahami dan memiliki cara untuk menggunakan sumberdaya se-efisien mungkin.
3.    Untuk memperbaiki sektor melalui realokasi aturan, insentif, dan tanggung jawab.
Dalam public-private partnership ada tiga karakteristik kunci agar proses pembangunan dapat berjalan, antara lain:
-       Memiliki perjanjian kontrak yang menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing.
-       Menanggung resiko bersama, timbal balik finansial kepada sektor privat yang sepadan dengan hasil pencapaian yang diinginkan sektor publik.
B.   Public-Private Patnership dalam Pembangunan Infrastruktur
Dalam menjalankan tugas dan peranannya, pemerintah senantiasa berupaya menyediakan barang-barang kebutuhan dan pelayanan yang baik untuk warganya, terutama dalam penyediaan infrastruktur. Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah bagi warga negaranya karena infrastruktur tidak hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods, oleh karena itu,  pemerintah memiliki kepentingan untuk membangun infrastruktur yang merupakan hal penting bagi masyarakat.[2]
Terbatasnya dana yang dimiliki oleh pemerintah, membuat pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti jalan, jembatan, jaringan air minum, dan pelabuhan. Alasan ini juga yang menjadi alasan mengapa pemerintah merasa penting untuk menggandeng swasta dalam pelaksanaan pembangunan.
Bentuk kerjasama haruslah memang untuk kepentingan pembangunan bukan untuk kepentingan di luar itu. Kerjasama ini bisanya muncul pada situasi dimana kompetisi dalam pasar tidak berkembang dengan baik, karena adanya monopoli alamiah atau kondisi struktur yang kurang mendukung. Dengan adanya konsesi diharapkan peluang terciptanya persaingan di pasar dapat terbuka sehingga memberikan keuntungan bagi konsumen. Beberapa bentuk kerjasama dalam bingkai PPP, antara lain:[3]
1.    Kontrak Servis
Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi (fee).
Beberapa contoh Kontrak Servis:
-       Kontrak pembersihan jalan
-       Pengumpulan dan pembuangan sampah
-       Pemeliharaan jalan
-       Pengerukan kali
-       Jasa mobil derek
2.    Kontrak Manajemen
Pernerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation dan maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap (fixed fee).
Beberapa contoh Kontrak Manajemen:
-       Perbaikan dan pemeliharaan jalan
-       Pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landfill)
-       Pengoperasian instalasi pengolahan air (water treatment plant)
-       Pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, stadion olahraga, tempat parkir, sekolah)
3.    Kontrak Sewa (lease)
Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun.
Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease):
-       Taman hiburan (entertainment complex)
-       Terminal Udara/Bandara
-       Armada bis atau transportasi lainnya
4.    Kontrak Build-Operate-Transfer (BOT)
BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.
5.    Kontrak Konsesi
Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggung jawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan membangun suatu aset infrastruktur, serta memberikan hak untuk mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20 tahun sampai 35 tahun.
Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease):
-       Pelabuhan Udara (keseluruhan atau sebagian)
-       Jalan Tol
-       Pelabuhan Laut
-       Penyediaan dan distribusi air bersih
-       Rumah Sakit
-       Fasilitas olahraga
C.   Studi Kasus; Rencana Pembangunan Tol Dalam Kota di Jakarta[4]
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menargetkan penandatangan perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) proyek enam ruas tol dalam kota Jakarta dilaksanakan pada September 2012. Hal itu menyusul pengajuan surat penawaran proyek oleh PT. Jakarta Tollroad Development (JTD).
Panitia Lelang Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) untuk Proyek Enam Ruas Tol Dalam Kota masih akan melakukan penelaahan setelah surat penawaran diajukan, dan setelah dilakukan evaluasi, negosiasi, dan kesepakatan, hal itu akan dituangkan dalam kontrak PPJT antara badan usaha jalan tol dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Langkah tersebut dilakukan untuk percepatan pembangunan proyek tersebut.
Dokumen penawaran yang diserahkan terdiri atas dua bagian yakni detail teknis seperti desain dan gambar, serta bagian kedua berupa proposal keuangan. Selanjutnya, pihak PT Jakarta Tollroad Development (JTD) selaku pihak swasta yang akan bekerjasama dengan pemerintah akan menunggu dokumen dibuka oleh BPJT guna diverifikasi isiannya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menerbitkan surat penetapan lokasi pembangunan (SP2LP) Enam Ruas Tol Dalam Kota pada 11 April 2012. Surat Keterangan mengenai SP2LP dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur DKI No 598/2012. SK tersebut menyebutkan lokasi proyek melewati lima wilayah di DKI yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Berdasarkan SP2LP tersebut, panjang proyek ditetapkan sepanjang 69.770 kilometer dan lebar 25,88 meter.
Dengan diterbitkannya SP2LP, maka proses pémbebasan tanah diperkirakan bisa dilakukan pada awal 2013. Pasalnya, pemerintah perlu menetapkan Tim Pembebasan Tanah (TPT) dan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) sebelum pembebasan tanah dilaksanakan. Proses pembebasan tanah harus disesuaikan dengan aturan baru. Pasalnya, pemerintah segera menerbitkan Perpres Pengadaan Tanah yang merupakan turunan dari UU No 12/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sementara itu, enam ruas tol Lingkar Dalam Kota Jakarta akan dibangun dengan nilai investasi Rp 40,02 triliun. Pembangunan proyek dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pembangunan ruas Semanan-Sunter sepanjang 17,88 kilometer senilai Rp 9,76 triliun dan ruas Sunter-Bekasi Raya (11 km) senilai Rp 7,37 triliun. Tahap selanjutnya adalah pembangunan ruas tol Duri Pulo-Kampung Melayu (11,38 km) senilai Rp 5,96 triliun dan Kemayoran-Kampung Melayu (9,65 km) senilai Rp 6,95 triliun. Tahap ketiga adalah pembangunan ruas tol koridor Ulujami-Tanah Abang (8,27 km) senilai Rp 4,25 triliun. Tahap terakhir adalah pembangunan ruas jalan tol Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 kilometer senilai Rp 5,71 triliun.
Analisis
Rencana pembangunan tol dalam kota yang melibatkan pihak swasta dalam pelaksanaannya sebagai pelaksana proyek ini merupakan salah satu contoh penerapan public-private partnership di Indonesia. Pemerintah tentunya tidak bias melakukan proyek ini jalan tol dalam kota ini sendiri karena keterbatasan sarana dan prasarana.
Dalam penerapan PPP, tentu banyak hal yang menjadi pertimbangan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Aidan R. Vining dan Anthony E. Boardman dalam Public–Private Partnerships; Eight Rules for Governments, setidaknya ada delapan hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menggandeng pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur.
Rencana pembangunan Tol Dalam Kota ini sudah memenuhi salah satu dari delapan syarat Aidan dan Anthony, yakni Establish A Jurisdictional P3 Constitution (membangun sebuah yurisdiksi konstitusi PPP), yang salah satu fungsinya adalah memberi kesempatan kepada publik untuk melakukan kontrak kerjasama serta member jaminan kredibilitas patner (private) yang jelas.[5]  Seperti yang dipaparkan di atas, rencana pembangunan tol dalam kota ini sudah diumumkan jauh-jauh hari sebelum tanggal tender dilaksanakan. Rincian pelaksanaannya juga sudah diumumkan oleh pemerintah sebagai bahan pertimbangan bagi pemilik proyek untuk melakukan kajian mendalam tentang rencana pembangunan tol tersebut.


[1] Public-private partnership: http://punyanasyifa.blogspot.com/2011/04/publik-private-patnership.html
[2] Dalam http://www.kppu.go.id/id/kerjasama-pemerintah-dan-swasta-pada-sektor-infrastruktur/
[3] Public-private partnership: http://punyanasyifa.blogspot.com/2011/04/publik-private-patnership.html
[4] http://pkps.bappenas.go.id/index.php/berita/143-berita-internal/1030-september-ppjt-proyek-6-tol-dalam-kota-diteken
[5] Aidan R. Vining dan Anthony E. Boardman, Public–Private Partnerships; Eight Rules for Governments. (Jurnal Public Works Management & Policy, Volume 13 Number 2, October 2008)



NETRALITAS BIROKRASI; PNS SEBAGAI MESIN POLITIK (Antara Politisasi Birokrasi dan Birokrasi Politik)


A.   Dikotomi Birokrasi dan Politik

Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yang utama.[1] Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi. Karena perannya yang fital, maka birokrasi dituntut untuk memaksimalkan kinerja dan bebas kepentingan.
Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tarik-menarik kepentingan antara politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Sementara itu, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Oleh karenanya, relasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan. Politik birokrasi, kalau boleh dikatakan demikian, adalah politik kenegaraan danbukan politik kekuasaan.
Beberapa aspek yang bisa digunakan untuk digunakan sebagai basis analisis.[2] Pertama, bahwa pemerintah adalah salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif. Wilayah eksekutif dalam konsep ini adalah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih melalui pemilu, termasuk Menteri kabinet dan staf di lingkungan kepresidenan dan kementerian.
Kedua, administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya, aparat negara bukanlah melulu aparat pemerintah.
Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat.
Keempat, administrasi negara dengan administrasi pemerintah perlu dipisahkan dengan mereposisi administrasi negara ke dalam bingkai negara, sehingga administrasi negara benar-benar merupakan abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi pemerintah.

B.   PNS sebagai Mesin Politik[3]

Masyarakat umum masih beranggapan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) pekerjaan yang menjanjikan dan berkelas. Terbukti, masyarakat masih sangat antusias untuk mendaftar ketika ada perekrutan CPNS. Berharganya posisi PNS juga diakibatkan dari pandangan masyarakat yang beranggapan seorang PNS lebih terjamin hidupnya. Dengan gaji tetap dan berbagai tunjangan yang menggiurkan. Selain itu, seorang PNS dilihat sebagai cerminan dari kaum terpelajar yang bisa menjadi panutan dalam masyarakat. Tidak heran biasanya seorang PNS menjadi tokoh atau ditokohkan dalam suatu lingkup masyarakat.
Posisi sebagai aparatur negara menjadikan seorang PNS dianggap bagian dari negara itu sendiri, sehingga hal ini juga membuat posisi PNS tinggi di masyarakat. Di beberapa derah bahkan posisi PNS cukup kuat untuk mempengaruhi opini publik. Posisi yang cukup strategis seperti itulah yang seringkali membuat partai politik menempatkan PNS sebagai terget penting untuk ‘memasarkan’ partai atau calon pemimpin kala pemilu maupun pemilukada berlangsung.
PNS sebagai administrasi negara lebih mudah untuk melakukan persuasi karena intensitas mereka yang selalu bersinggungan dengan masyarakat. Sehingga tidak heran jika PNS menjadi tangan sakti politik atau penguasa. Ada beberapa hal yang menyebabkan ketidaknetralan PNS, salah satunya adalah keinginan PNS untuk mempercepat kenaikan pangkatnya. Ketika oknum PNS berhasil memperjuangan salah satu calon terntu untuk naik menjadi kepala daerah, tentu saja dia akan mendapatkan kompensasi untuk naik pangkat.
Artinya ketidaknetralan PNS dalam pemilukada tidak sepenuhnya disebabkan oleh pribadi masing-masing orang. Sistem kenaikan pangkat selama ini yang terkadang ditetapkan oleh pejabat pembina PNS seperti gubernur, bupati atau walikota juga menjadi sebab ketidaknetralan PNS. Sistem kenaikan pangkat seperti itu membuat nasib pangkat PNS seakan berada di tangan pejabat. Tentu saja hal itu membuka peluang bagi para pejabat memanfaatkan kondisi tersebut untuk mempengaruhi PNS terkait, karena sang pejabat merasa berkuasa atas nasib PNS.
Semangat reformasi birokrasi yang dielu-elukan di beberapa instansi pemerintah selayaknya memposisikan kenetralan PNS sebagai salah satu fokus yang harus dibenahi. Jangan sampai posisi terhormat PNS sebagai birokrasi yang bertugas untuk melayani masyarakat berubah menjadi birokrasi politik yang juga melakukan kerja-kerja politik.

C.   Transaksi dalam Rekrutmen PNS

Sudah menjadi rahasia umum di setiap daerah, booking jatah PNS bagi orang-orang yang mampu membayar mahal. Ini merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji, karena dalam prakteknya, panitia seleksi PNS tidak berjalan sendiri, akan tetapi secara off the record direstui oleh pemerintahan yang berkuasa. Tentu menjadi pertanyaan, apakah mereka memang ditekan oleh pemerintah daerah untuk memberikan upeti atas jabatan yang mereka dapatkan, sehingga mereka kemudian menjalankan modus transaksi ini sebagai bagian dari upaya untuk balas jasa. Atau malah sebaliknya, PNS sebagai administrasi negara di daerah merasa memiliki otoritas dalam proses seleksi PNS, sehingga mereka juga memiliki kewenangan untuk menerima keuntungan dari setiap kegiatan mereka.
Inilah yang masih belum jelas dalam fenomena transaksi rekrutmen PNS, netralitas birokrasi kembali dipertanyakan. Jika yang terjadi adalah pemerintah daerah menekan birokrasi untuk memungut uang dari para calon PNS, maka birokrasi di daerah tidak bisa menolak karena taruhannya adalah jabatan mereka. Maka yang terjadi adalah politisasi birokrasi. Sedangkan apabila birokrasi yang memiliki inisiatif untuk menarik uang dari seleksi calon PNS, maka yang terjadi adalah birokrasi politik. Karena selain uang hasil pungutan mereka gunakan untuk pribadi, uang tersebut juga akan disetor kepada kepala daerah sebagai investasi mereka agar tetap bertahan dengan jabatan mereka atau malah untuk naik jabatan.
Kasus transaksi dalam seleksi calon PNS ini menjadi menarik karena nominal uang suap Calon PNS, menurut berbagai sumber, dalam setahun menembus angka Rp. 30 triliun.[4] Uang ini kemudian diduga mengalir ke kantong kepala daerah. Uang haram itu biasanya dipergunakan untuk menambal biaya kepala daerah saat ikut dalam pesta pemilihan kepala daerah. Hal itu terjadi mulai dari tingkat gubernur, walikota dan bupati. Ini cukup beralasan karena jika di lihat dari kenyataan yang terjadi selama ini, untuk menjadi seorang kepala daerah biasanya harus mengeluarkan biaya yang besar, sehingga mereka akan mati-matian untuk mendapatkan uang mereka kembali. Birokrasi sebagai implementator kemudian dijadikan sebagai mesin pencetak uang dengan iming-iming kenaikan pangkat dan lain sebagainya.
Dari berbagai kasus yang ada, penting kiranya untuk memperbaiki sistem dalam seleksi penerimaan calon PNS ini. Harus ada tindakan tegas dan monitor, sebagai salah satu langkah menuju reformasi birokrasi seperti yang didengung-dengungkan. Birokrasi harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidangnya, maka dalam penjaringan PNS yang baru harus melalui seleksi yang masif.  Mereka yang berani membayar lebih, rata-rata tidak memiliki kompetensi yang memadai, sehingga nantinya hanya akan memperburuk citra birokrasi di tanah air.


[1] Soedjatmoko, Dimensi manusia dalam pembangunan, cetakan III, (Yogyakarta: LP3ES, 1986) hal 176.
[2] Netralitas Birokrasi: Menjernihkan Pola Hubungan Pemerintah dan Birokrasi http://www.scribd.com/doc/3825146/Netralitas-Birokrasi
[3] Opini dalam http://politik.kompasiana.com/2012/02/02/jual-beli-pns-untuk-kepentingan-politik/
[4] http://korankepri.wordpress.com/2012/02/28/suap-cpns-mengalir-ke-kepala-daerah-2/

Rabu, 28 Desember 2011

KRITIK TERHADAP ANTIPOSITIVISME

Kritik Antipositivisme Terhadap Positivisme
Positivisme telah memberikan banyak warna yang khas dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam perannya sebagai suatu pendekatan, cara pandang, perspektif, paradigma, ataupun filsafat ilmu,. Padahal, pada awalnya positivisme digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala alam melalui penelitian empirik. Penganut positivis memiliki pemahaman bahwa gejala alam dapat diukur melalui metode-metode penelitian empirik, sehingga melalui penelitian tersebut didapat hukum-hukum kehidupan (hukum-hukum alam). Hukum-hukum alam tersebut menurut positivisme, hanya merupakan pernyataan keteraturan hubungan yang terdapat di antara gejala-gejala empiris.[1] Untuk menemukan hukum-hukum alam, maka ilmu pengetahuan disusun secara sistematis untuk mengumpulkan data-data empiris. Alam, sebagai objek kajian pemikir positivisme, tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik seperti langit, bintang, bulan, bumi, angin, air, dan sejenisnya. Akan tetapi, manusia dan kehidupannya juga bisa dijadikan objek penelitian, karena manusia dianggap bagian dari alam. Positivisme kemudian lebih dikenal sebagai cara pandang ilmu alamiah.
Menurut Foucault, kaum positivisme terlalu percaya bahwa obyektifitas itu ada. Untuk meyakinkan terhadap kebenaran klaimnya, maka dibuatlah serangkaian aturan atau prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Bagi Foucault tidak ada sesuatu yang obyektif, karena segala sesuatu subyektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta -baik sadar atau tidak- ketika sebuah pengetahuan disusun. Bahkan pengetahuan sendiri muncul, sebagai sesuatu yang subyektif dalam fungsinya mencampakkan gejala unreason atau ketidaksadaran. Pengetahuan selalu bersifat politis, tetapi bukan karena mempunyai konsekuensi politik atau digunakan demi kepentingan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan karena adanya relasi-relasi kuasa. Dan kuasa itu tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalu normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak dapat dilokalisasi, karena ia bekerja lewat aturan dan susunan. Dengan demikian kuasa tidak bersifat negatif, refresif dan subyektif, justru kuasa memiliki ciri positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas dan juga ritus-ritus kebenaran.[2]
Dengan melakukan kritik terhadap susunan pengetahuan, maka gugatan ini dengan tepat meruntuhkan seluruh jantung klaim keabsahan pengetahuan yang demikian di lihat sebagai sesuatu yang mapan. Secara khusus, Foucault melihat kecenderungan operasionalisasi pengetahuan, telah menjadikan ilmu-ilmu kemanusiaan, kehilangan nilai kemanusiaannya. Foucault mencoba memanusiakan kembali manusia.[3]
Dari paparan kritik di atas, dapat dipahami bahwa asumsi utama dari pendekatan Anti positivisme adalah tidak adanya sebuah kebenaran absolut. Kebenaran adalah relatif tergantung dari interpretasi masing-masing individu. Pendekatan ini tidak mempercayai adanya obyektivitas yang benar-benar bisa obyektif terlepas dari nilai-nilai dan subyektivitas seseorang. Realitas sosial yang ada merupakan hasil dari rekayasa manusia. Segala sesuatunya bisa dikonstruksi dan dimanipulasi oleh manusia. Satu hal yang bisa kita pegang adalah bahwa realitas itu statis seperti gambar diam, melainkan dinamis, bergerak dan mengalir. Secara falsafi, bisa dikatakan bahwa realitas selalu dalam “proses menjadi”.

Kritik Terhadap Antipositivisme
Setidaknya ada dua kritik terhadap Antipositivisme. Pertama, Antipositivisme hanya mengambil sedikit isu dengan dan langsung melakukan generalisasi, sehingga lebih tepat dianggap sebagai pengantar kepada obyek dari teori sosiologi dibanding metode analisa ilmiah yang subtantif. Kedua, antipositivisme dianggap sebagai hasil dari keanehan obyek sosiologi. Antipotivisme yang dalam pandangannya menyangsikan dan mungkin berlawanan dengan bermacam metodologi ilmiah masih menggunakan suatu verificationalisme protokol ilmiah. Di satu sisi, Antipositivisme mempertahankan realisme ilmiah, sedangkan di sisi lain  memerlukan suatu metodologi tegas, dengan menganut suatu praktek definisi dengan sifat alamiah obyek yang digambarkan sebelum penyelidikan.[4]

Pandangan Subjektif Tentang Antipositivisme
Antipositivisme dengan pendekatannya telah banyak memberi kritik terhadap perspektif positivisme. Pendekatan ini banyak menutupi kelemahan positivisme meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pendekatan ini juga mempunyai banyak kelemahan seperti klaim bahwa antipositivisme bisa melahirkan karya yang tidak ilmiah. Meskipun demikian, metodologi dalam berilmu adalah sebuah pilar penting yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan. Sedangkan metodologi apa yang akan digunakan adalah sebuah pilihan. Antipositivisme merupakan pendekatan lebih bisa menjelaskan realitas dalam rangka mencapai kebenaran. Ilmu politik sebagai salah satu cabang ilmu sosial merupakan realitas yang dinamis dan selau bergerak. Sehingga pendekatan anti positivisme lebih cocok menjadi semacam kendaraan untuk memahami realitas sosial dalam mencapai kebenaran.


[1] Hasbiansyah, “Menimbang Positivisme”. (Bandung: Jurnal Mediator UNISBA, 2000), Vol. I No.1.
[2] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskusi Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problema Modernitas. (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
[3] Ibid
[4] Diambil dari perbedaan pandangan dan kritik Adono terhadap tesis Popper yang menggunakan kerangka penelitian Antipositivisme. Lihat dalam The Sociological Field: http://sociologicalfield.wordpress.com/2011/10/25/adornos-critique-of-poppers-anti-positivism/

Kamis, 08 September 2011

CITRA ADAM DAN NUH SERTA KELUARGA IBRAHIM DAN KELUARGA IMRAN DALAM KONTEKS MANUSIA DAN KELUARGA IDEAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam merupakan mata air bagi segala kesopanan dan kehormatan dalam kehidupan ini. Islam merupakan prinsip-prinsip moral yang logis, nilai-nilai yang tinggi dan perilaku-perilaku yang baik, semuanya disampaikan kepada manusia dari sumber yang suci dan ilahiah semenjak beberapa abad lalu.
Manusia jelas lebih cenderung kepada kebebasan dan kebodohan dari pada berupaya mengikuti apa yang benar, karenanya lebih mudah terjatuh dari pada terangkat, dan lebih mudah lalai dari pada mengikuti aturan-aturan. Oleh karena itu, manusia memerlukan bimbingan untuk mencegah dan memperingatkan di saat lupa dan kakinya terpeleset dari jalan yang lurus.[1]
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dalam penciptaannya, paling tidak itulah yang termaktuf dalam firman Allah dalam al-Qur'an surat at-Tiin. Namun manusia masih membutuhkan bimbingan untuk menjelaskan nilai-nilai luhur dalam Islam dengan cara yang mudah dipahami dan gaya yang menarik sehingga dapat mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang dikehendaki Allah, sehingga bisa menikmati kehidupan yang layak dan bahagia.
Allah mewahyukan agama Islam ini dari langit ketujuh bukan  sekedar untuk menjadi bahan teoritis, karena wahyu Allah tersebut bukanlah sekedar kata-kata sakral yang hanya untuk dibaca agar memperoleh berkah tanpa dipahami maknanya. Allah mewahyukan agama ini untuk membimbing kehidupan individu, keluarga dan masyarakat luas, untuk membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya.[2]
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (١٥)يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (١٦)[3]
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkannya.[4] Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah: 15–16)[5]
Di antara beberapa petunjuk al-Qur'an, yakni adanya kisah para nabi Allah untuk yang bisa dijadikan panduan dan teladan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi maupun keluarga dan masyarakat. Kisah para Nabi adalah kisah kebesaran dan ketinggian, kehidupan mereka merupakan suatu kehidupan perjuangan. Tujuan Allah menjelaskan kisah para Nabi adalah agar manusia mengambil ajaran dan kemaslahatan dari perjalanan mereka yang harum, bagaikan lampu yang menyinari dengan sinarnya, mereka memberikan petunjuk dengan petunjuk-Nya, mereka sebagai contoh yang tinggi dalam kehidupannya, mereka berada dalam keutamaan dan keselamatan.[6]
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١١١)[7] 
Sungguh ada dalam kisah mereka itu suatu pembelajaran bagi orang-orang yang berfikir. (QS. Yusuf: 111)[8]
Ayat ini menjelaskan bahwa dari kisah para nabi tersebut dapat diambil pelajaran hidup yang berguna, yaitu citra mereka dalam hal kesabaran, ketaatan dan seterusnya. Citra dari para nabi ini patut untuk diteladani sebagai bahan untuk lebih mengoptimalkan keimanan.
Dalam konteks manusia dan keluarga yang bisa dikatakan manusia dan keluarga ideal Allah memberi porsi khusus, al-Qur'an surat Ali Imran ayat 33 menjelaskan bahwa Allah telah menempatkan beberapa orang dan keluarga lebih utama dari pada yang lain pada zamannya.
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ (٣٣)[9] 
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). (QS. Ali Imran: 33)[10]
Ayat ini menjelaskan kebijakan Allah dalam menetapkan manusia pilihannya sebagai manusia yang paling unggul pada masanya. Kebijakan Allah dalam ayat ini kemudian menimbulkan tanda tanya tentang apa yang dimaksud dengan Allah memilih dan apa dasarnya Allah memilih mereka?
Memang tidak ada yang bisa keberatan atas pilihan Allah, tetapi tidak ada salahnya kalau dicari jawabannya tentang kira-kira apa dasarnya. Jawaban yang diperoleh bisa saja memuaskan, bisa juga tidak memuaskan bagi yang lain, tapi apapun jawabannya harus diterima.[11] Dalam hal ini upaya untuk menemukan maksud yang terkandung di dalamnya adalah agar ayat tersebut tidak dianggap sebagai teks yang mati dan tidak kontekstual lagi dalam kehidupan.[12] 
Allah memilih berdasarkan pengetahuannya, menyangkut siapa yang dipilih. Allah juga memilih berdasarkan kebijaksanaan dan hikmah-Nya setelah memperhatikan, melihat dan mengetahui bahwa objek yang dipilih-Nya merupakan objek yang sesuai bagi-Nya.[13]
Dalam kutipan sejarah, keempat golongan yang dipilih Allah tersebut memang orang-orang yang mempunyai keistimewaan yang lebih dari pada yang lain. Misalnya Adam yang dinyatakan sebagai manusia pertama atau sebagai moyang manusia. Walaupun ada yang mengatakan bahwa sudah ada makhluk-makhluk sebelum Adam, bahkan bisa jadi sudah ada makhluk yang mirip bentuknya dengan manusia sebelum Adam. Tapi Allah memilih Adam sebagai orang tua manusia modern kira-kira 40.000 tahun yang lalu seperti yang telah dikatakan para pakar. Jadi Allah memilihnya sebagai bapak manusia yang ada sekarang.[14] Begitupun dalam hal Allah memilih Nuh dan dua keluarga, yakni keluarga Ibrahim dan Imran, tentu Allah mempunyai alasan tersendiri. Alasan inilah yang kemudian ingin dicari dan ditampilkan sebagai sebuah pengetahuan.
Dari gambaran yang sudah ada, keempat golongan tersebut memang selayaknyalah untuk dijadikan citra sebagai manusia dan keluarga ideal, serta bisa dijadikan teladan bagi setiap manusia dan keluarga yang ingin meningkatkan kualitas kepribadian dan keluarga. Jika dihubungkan pada kondisi saat ini yang sedang sulit mencari seorang figur yang bisa dijadikan teladan, kiranya alasan Allah dalam menjadikan manusia pilihan-Nya tersebut betul-betul menjadi manusia istimewa yang direkomendasi sebagai manusia dan keluarga ideal yang berhak diteladani.
Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 33 ini turun dalam konteks diskusi Nabi dengan sekelompok orang Nasrani yang antara lain membahas tentang kedudukan Siti Maryam dan kedudukan Nabi Isa yang sejak zaman Nabi mereka meyakini bahwa Nabi Isa itu adalah anak Tuhan, Tuhan atau satu dari tiga (Trinitas).[15]
Karena tujuan ayat ini adalah diskusi tentang hal tersebut, maka Allah menurunkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa Allah memilih mereka semua, baru kemudian ayat selanjutnya mengatakan bahwa yang dipilih oleh Allah diatas merupakan keturunan yang sama. Mereka semua sama dan membawa ajaran yang sama, yakni keesaan Tuhan (لم يلد ولم يولد). Kalau mereka merupakan keturunan yang sama dalam kemanusiaannya, maka jangan dibedakan-bedakan bahwa yang ini lebih mulia dari yang itu atau yang ini adalah Tuhan dan yang itu bukan Tuhan.[16]
Dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kajian Tafsir Hadis, dalam penelitian yang akan dilakukan ini, akan diungkap keistimewaan-keistimewaan mereka sebagai pribadi dan keluarga pilihan sehingga dengan pengungkapan ini, tidak disangsikan lagi bahwa mereka memang layak dikatakan sebagai manusia dan keluarga ideal, pilihan Tuhan yang layak dijadikan teladan.
B.       Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari latar belakang di atas, dalam kajian Tafsir Hadis, ada beberapa hal yang menjadi titik permasalahan dalam pembahasan terkait terpilihnya Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran sebagai manusia dan keluarga yang unggul di atas semua manusia pada zamannya dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 33.
1.      Tentang geneologi dari Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
2.      Tentang rahasia Tuhan terhadap pilihan-Nya menentukan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
3.      Tentang hubungan nasab antara Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
4.      Tentang keistimewaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
Dalam menentukan manusia pilihan memang hak prerogatif Allah sebagai Sang Kreator, akan tetapi tentu ada maksud yang terkandung di dalamnya sehingga Allah lebih memilih mereka dibandingkan yang lain. Salah satu yang menjadi titik tekan dalam penelitian ini adalah mengungkap keistimewaan mereka, bahwasanya mereka merupakan manusia-manusia yang layak dijadikan panutan karena mereka merupakan pribadi dan keluarga yang ideal.
Pembahasan dalam ayat ini sangat luas sehingga perlu dispesifikkan titik pembahasannya. Maka titik fokus dari skripsi ini adalah mengungkap keistimewaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran. Pembahasan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada teladan dari mereka sebagai manusia dan keluarga ideal.
 
C.      Rumusan Masalah
Gambaran global tentang masalah manusia dan keluarga pilihan Allah dalam al-Qur'an surat Ali Imran ayat 33 pada latar belakang di atas akan dirumuskan dengan beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimana para mufassir menjelaskan QS. Ali Imran: 33?
2.      Bagaimana keistimewaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sebagai kelompok ideal?
 
D.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui penjelasan dari para mufassir tentang penafsiran dan penjabaran dari al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 33 yang mengungkapkan tentang manusia dan keluarga unggul pilihan Allah swt.
2.        Untuk mendapatkan gambaran tentang Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sehingga mereka layak disebut sebagai manusia dan keluarga ideal.
 
E.       Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian ini dari segi teoritis merupakan kegiatan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang wacana Tafsir Hadis melalui pendekatan metodologis-historis.
Sedangkan manfaat dalam segi praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan/pedoman yang layak dalam kehidupan khususnya bila dikaitkan dengan bagaimana menjadi manusia dan keluarga yang ideal dalam  masyarakat di tengah krisis kepribadian saat ini.
 
F.       Penegasan Judul
Skripsi ini berjudul Citra Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imran dalam Konteks Manusia dan Keluarga Ideal yang merupakan penguraian tentang keutamaan mereka sehingga Allah memilih mereka sebagai manusia yang lebih unggul dari pada yang lain pada zamannya.
Untuk itu perlu lah dijelaskan secara singkat terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dalam judul skripsi ini;
-       Citra merupakan persepsi tentang perilaku seseorang, atau gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi seseorang.[17]
-       Adam dan Nuh merupakan nabi yang diutus oleh Allah sebagai lambang dari pertobatan dan keteguhan hati dalam berdakwah.
-       Keluarga Ibrahim dan keluarga Imran adalah keluarga pilihan Allah yang dibangun dengan kesabaran, keikhlasan dan ketaatan kepada Allah, sehingga bisa dijadikan teladan bagi setiap manusia dalam membina rumah tangga.
-       Ideal adalah memuaskan karena sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan.[18]
Jadi, judul skripsi ini adalah mengungkap keutamaan dari Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sebagai manusia dan keluarga ideal untuk dijadikan teladan dalam kehidupan.
 
G.      Telaah Pustaka
Penelitian yang membahas tentang nabi seperti ini tentu bukan yang pertama dan satu-satunya, maka dari itu perlu untuk dilakukan telaah kepustakaan untuk mengukuhkan keaslian penelitian ini. Salah satu tulisan yang pembahasannya berkaitan dengan penelitian ini adalah;
1.      Skripsi dari Catur Rajwina tahun 2000 yang berjudul Kisah Nabi Ibrahim dan Zakariya Memperoleh Keturunan dalam al-Qur’an. Skripsi ini menjelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim dan Zakariya yang baru memperoleh keturunan ketika usia mereka sudah senja. Skripsi ini lebih menekankan pembahasannya pada pemaparan kisah serta mengkategorikan kisah mereka dalam beberapa kategori kisah. Bidikannya adalah bagaimana nantinya kisah dari kedua nabi tersebut dapat diambil hikmahnya dalam kehidupan dengan mengambil pelajaran dari kesabaran mereka. Kategorisasi kisah Nabi Ibrahim dan Zakariya memperoleh dalam kategori kisah al-Qur’an termasuk dalam kategori Kisah Para Nabi (Qishashul Anbiya’) yang mengandung dakwah mereka kepada kaumnya atas cobaan yang diterimanya. Skripsi ini tidak memaparkan perihal keluarga dari Nabi Ibrahim dan Zakariya sebagai sebuah keluarga yang taat dan patuh kepada Allah, dan hanya menampilkan Nabi Ibrahim dan Zakariya secara personal.
2.      Skripsi dari Emil Fuaidah tahun 2003, Substansi Dialog Antara Nabi Ibrahim dengan Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 260. Skripsi ini juga menjelaskan tentang Nabi Ibrahim secara personal dalam konteks substansi dari dialog antara Nabi Ibrahim dengan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 260 yang berbicara tentang pertanyaan Nabi Ibrahim kepada Allah mengenai bagaimana Allah menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim dinilai masih belum yakin sepenuhnya dengan kekuasaan Allah, sampai-sampai Allah memvisualisasikan kekuasaan-Nya. Skripsi ini hanya mengeksplorasi dan mengelaborasi substansi-substansi dialogis antara Nabi Ibrahim dengan Allah swt. yang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 260.
3.      Karya Muhammad Ali Al-Shabuny yang berjudul al-Nubuwwah wa al-Anbiya' diterjemahkan oleh Arifin Jamian Maun yang diberi judul Kenabian dan Para Nabi, di dalamnya sangat panjang membahas tentang kisah perorangan para Nabi. Selain itu, buku ini juga membahas tentang ketentuan maqam Nabi merupakan hak prerogatif Tuhan, artinya maqam Nabi itu murni hanya sebuah anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia yang dipilih-Nya. Namun penjelasan yang dipaparkan oleh penulis tidak sampai pada tingkat analisa yang mendalam dan cenderung tidak berdasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an.
4.     Buku lain yang membahas seputar kisah para Nabi adalah buku karya Rafi'udin dan In'am Fadhali dengan judul Lentera Kisah 25 Nabi–Rasul. Buku ini murni hanya membahas tentang kisah-kisah perorangan para Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam al-Qur'an, diawali dari kisah Nabi Adam as. dan diakhiri dengan kisah Nabi Muhammad saw. Dalam buku ini secara terperinci dan sistematis menjelaskan kisah 25 Nabi dan Rasul dengan menghadirkan ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang para Nabi dan Rasul tersebut. Dalam buku ini tidak ditampilkan tentang keistimewaan para Nabi selain yang sudah lumrah di dengar dari kisah-kisah yang lain.
Sedangkan fokus penelitian yang diangkat dalam skripsi ini membahas secara mendetail firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 33 yang menjelaskan bahwa Allah telah memilih Nabi Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sebagai manusia dan keluarga yang melebihi manusia dan keluarga yang lain di muka bumi pada zamannya masing-masing. Penelitian ini nantinya akan menunjukkan keistimewaan dan teladan dari Nabi Adam dan Nuh serta keluarga Nabi Ibrahim dan Imran sebagai sosok manusia dan keluarga yang ideal. Konsep manusia dan keluarga ideal dari kisah Nabi Adam dan Nuh serta keluarga Nabi Ibrahim dan Imran ini nantinya akan dijadikan sebagai panduan hidup untuk menjadi manusia yang ideal sesuai dengan petunjuk Allah serta dijadikan kunci sukses dalam membina rumah tangga dengan membangun sebuah keluarga yang ideal seperti keluarga Ibrahim dan Imran. Penelitian ini belum pernah diangkat dalam penelitian sebelumnya sehingga akan menjadi menarik dan bermanfaat.
 
H.      Metodelogi Penelitian
1.      Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Penentuan  terhadap model penelitian ini untuk menemukan kevalidan objek penelitian yang akan dikaji. Sehingga, hasil proses dari penelitiaan yang akan dilakukan ini akan betul-betul bisa menggambarkan tentang keutamaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibarahim dan Imran sebagai kelompok manusia ideal yang semestinya dijadikan teladan.
2.      Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dan kajiannya disajikan secara eksploratif analitis. Oleh karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan elektronik, bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian ini.
Sedangkan dalam standar Ilmu Tafsir, penelitian ini akan menggunakan metode tahlili (analisa), yakni dengan menghadirkan dan menganalisa ayat-ayat yang lain, kemudian ditunjang dengan hadis-hadis dan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan ayat 33 surat Ali Imran. Dengan model ini kemungkinan untuk menghasilkan penelitian yang benar akan dapat dimaksimalkan.
3.      Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan terdiri dari dua jenis sumber, yakni primer dan sekunder. Sumber primer atau rujukan utama yang akan dipakai, yaitu Al-Qur'an al-Karim.
Sedangkan sumber sekunder yang dijadikan sebagai pelengkap dalam penelitian ini antara lain:
a.        Tafsi>r al-Mishba>h
b.       Tafsi>r Ibn Kathi>r
c.        Tafsir Fi Zhilalil Qur’a>n
d.       Tafsir al-Azha>r
e.        Tafsir al-Thabari
Penelitian ini juga akan ditunjang oleh buku-buku rujukan umum yang terkait dengan pembahasan.
 4.      Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada data-data tertulis seperti buku dan jurnal ilmiah, serta ditopang oleh data elektronik sepeti video dokumenter.
5.       Metode Analisis Data
Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan.[19] Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak (peneliti).
 
I.         Rencana Sistematika Pembahasan (Out Line)
Untuk memperoleh kesimpulan yang utuh dan terpadu, maka sistematika pembahasan yang disajikan terbagi ke dalam beberapa bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab, dengan rincian sebagai berikut :
            Bab I, merupakan pertanggungjawaban metodologis, yang  terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian, sumber data  dan sistematika  pembahasan.
Bab II, merupakan landasan teori tentang manusia dan keluarga ideal. Memaparkan tentang kriteria manusia dan keluarga ideal secara umum.
            Bab III, merupakan penyajian data tentang surat Ali Imran ayat 33; tentang pandangan para mufassir tentang konteks surat Ali Imran ayat 33, tentang isi kandungan surat Ali Imran sendiri, serta hubungannya dengan ayat dan surat lain.
            Bab IV, merupakan tahap analisis tentang Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imran Sebagai Figur; mengetengahkan Keistimewaan Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imran Sebagai Manusia dan Keluarga Ideal, serta Relevansi Idealitas Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Imran dengan Konteks Kehidupan Masyarakat Masa Kini.
            Bab V, mengetengahkan hasil akhir atau kesimpulan tentang analisa yang telah diuraikan pada bab IV, kemudian diakhiri dengan saran-saran.




[1] Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), 6
[2] Ibid, 6
[3] Al-Qur’an Surat al-Maidah: 15–16
[4] Cahaya maksudnya adalah Nabi Muhammad saw., dan Kitab maksudnya adalah al-Qur’an.
[5] Departemen Agama RI, Al-Juma>natul ‘Ali>; Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: J-Art, 2005)
[6] Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, Terj. Arifin Jamian Maun (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), 13
[7] Al-Qur’an Surat Yusuf: 111
[8] Departemen Agama RI, Al-Juma>natul ‘Ali>; Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: J-Art, 2005)
[9] Al-Qur’an Surat Ali Imran: 33
[10] Departemen Agama RI, Al-Juma>natul ‘Ali>; Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: J-Art, 2005)
[11] Penjelasan Quraish Shihab dalam acara TAFSIR AL-MISHBAH di MetroTV pada tanggal 09 November 2010
[12] Dalam kajian kontemporer upaya seperti itu disebut al-Qira’ah al-Muntijah (pembacaan yang produktif), yakni pembacaan atas teks al-Qur’an yang tak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tak terbaca tersebut. Baca: Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKi>S, 2010), 60
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, Jilid II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 75
[14] Penjelasan Quraish Shihab dalam acara TAFSIR AL-MISHBAH di MetroTV pada tanggal 09 November 2010
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Kamus Bahasa Indonesia Online, www.KamusBahasaIndonesia.org
[18] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 538
[19] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,1993), 76–77