Rabu, 28 Desember 2011

KRITIK TERHADAP ANTIPOSITIVISME

Kritik Antipositivisme Terhadap Positivisme
Positivisme telah memberikan banyak warna yang khas dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam perannya sebagai suatu pendekatan, cara pandang, perspektif, paradigma, ataupun filsafat ilmu,. Padahal, pada awalnya positivisme digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala alam melalui penelitian empirik. Penganut positivis memiliki pemahaman bahwa gejala alam dapat diukur melalui metode-metode penelitian empirik, sehingga melalui penelitian tersebut didapat hukum-hukum kehidupan (hukum-hukum alam). Hukum-hukum alam tersebut menurut positivisme, hanya merupakan pernyataan keteraturan hubungan yang terdapat di antara gejala-gejala empiris.[1] Untuk menemukan hukum-hukum alam, maka ilmu pengetahuan disusun secara sistematis untuk mengumpulkan data-data empiris. Alam, sebagai objek kajian pemikir positivisme, tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik seperti langit, bintang, bulan, bumi, angin, air, dan sejenisnya. Akan tetapi, manusia dan kehidupannya juga bisa dijadikan objek penelitian, karena manusia dianggap bagian dari alam. Positivisme kemudian lebih dikenal sebagai cara pandang ilmu alamiah.
Menurut Foucault, kaum positivisme terlalu percaya bahwa obyektifitas itu ada. Untuk meyakinkan terhadap kebenaran klaimnya, maka dibuatlah serangkaian aturan atau prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Bagi Foucault tidak ada sesuatu yang obyektif, karena segala sesuatu subyektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta -baik sadar atau tidak- ketika sebuah pengetahuan disusun. Bahkan pengetahuan sendiri muncul, sebagai sesuatu yang subyektif dalam fungsinya mencampakkan gejala unreason atau ketidaksadaran. Pengetahuan selalu bersifat politis, tetapi bukan karena mempunyai konsekuensi politik atau digunakan demi kepentingan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan karena adanya relasi-relasi kuasa. Dan kuasa itu tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalu normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak dapat dilokalisasi, karena ia bekerja lewat aturan dan susunan. Dengan demikian kuasa tidak bersifat negatif, refresif dan subyektif, justru kuasa memiliki ciri positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas dan juga ritus-ritus kebenaran.[2]
Dengan melakukan kritik terhadap susunan pengetahuan, maka gugatan ini dengan tepat meruntuhkan seluruh jantung klaim keabsahan pengetahuan yang demikian di lihat sebagai sesuatu yang mapan. Secara khusus, Foucault melihat kecenderungan operasionalisasi pengetahuan, telah menjadikan ilmu-ilmu kemanusiaan, kehilangan nilai kemanusiaannya. Foucault mencoba memanusiakan kembali manusia.[3]
Dari paparan kritik di atas, dapat dipahami bahwa asumsi utama dari pendekatan Anti positivisme adalah tidak adanya sebuah kebenaran absolut. Kebenaran adalah relatif tergantung dari interpretasi masing-masing individu. Pendekatan ini tidak mempercayai adanya obyektivitas yang benar-benar bisa obyektif terlepas dari nilai-nilai dan subyektivitas seseorang. Realitas sosial yang ada merupakan hasil dari rekayasa manusia. Segala sesuatunya bisa dikonstruksi dan dimanipulasi oleh manusia. Satu hal yang bisa kita pegang adalah bahwa realitas itu statis seperti gambar diam, melainkan dinamis, bergerak dan mengalir. Secara falsafi, bisa dikatakan bahwa realitas selalu dalam “proses menjadi”.

Kritik Terhadap Antipositivisme
Setidaknya ada dua kritik terhadap Antipositivisme. Pertama, Antipositivisme hanya mengambil sedikit isu dengan dan langsung melakukan generalisasi, sehingga lebih tepat dianggap sebagai pengantar kepada obyek dari teori sosiologi dibanding metode analisa ilmiah yang subtantif. Kedua, antipositivisme dianggap sebagai hasil dari keanehan obyek sosiologi. Antipotivisme yang dalam pandangannya menyangsikan dan mungkin berlawanan dengan bermacam metodologi ilmiah masih menggunakan suatu verificationalisme protokol ilmiah. Di satu sisi, Antipositivisme mempertahankan realisme ilmiah, sedangkan di sisi lain  memerlukan suatu metodologi tegas, dengan menganut suatu praktek definisi dengan sifat alamiah obyek yang digambarkan sebelum penyelidikan.[4]

Pandangan Subjektif Tentang Antipositivisme
Antipositivisme dengan pendekatannya telah banyak memberi kritik terhadap perspektif positivisme. Pendekatan ini banyak menutupi kelemahan positivisme meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pendekatan ini juga mempunyai banyak kelemahan seperti klaim bahwa antipositivisme bisa melahirkan karya yang tidak ilmiah. Meskipun demikian, metodologi dalam berilmu adalah sebuah pilar penting yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan. Sedangkan metodologi apa yang akan digunakan adalah sebuah pilihan. Antipositivisme merupakan pendekatan lebih bisa menjelaskan realitas dalam rangka mencapai kebenaran. Ilmu politik sebagai salah satu cabang ilmu sosial merupakan realitas yang dinamis dan selau bergerak. Sehingga pendekatan anti positivisme lebih cocok menjadi semacam kendaraan untuk memahami realitas sosial dalam mencapai kebenaran.


[1] Hasbiansyah, “Menimbang Positivisme”. (Bandung: Jurnal Mediator UNISBA, 2000), Vol. I No.1.
[2] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskusi Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problema Modernitas. (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
[3] Ibid
[4] Diambil dari perbedaan pandangan dan kritik Adono terhadap tesis Popper yang menggunakan kerangka penelitian Antipositivisme. Lihat dalam The Sociological Field: http://sociologicalfield.wordpress.com/2011/10/25/adornos-critique-of-poppers-anti-positivism/

Kamis, 08 September 2011

CITRA ADAM DAN NUH SERTA KELUARGA IBRAHIM DAN KELUARGA IMRAN DALAM KONTEKS MANUSIA DAN KELUARGA IDEAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam merupakan mata air bagi segala kesopanan dan kehormatan dalam kehidupan ini. Islam merupakan prinsip-prinsip moral yang logis, nilai-nilai yang tinggi dan perilaku-perilaku yang baik, semuanya disampaikan kepada manusia dari sumber yang suci dan ilahiah semenjak beberapa abad lalu.
Manusia jelas lebih cenderung kepada kebebasan dan kebodohan dari pada berupaya mengikuti apa yang benar, karenanya lebih mudah terjatuh dari pada terangkat, dan lebih mudah lalai dari pada mengikuti aturan-aturan. Oleh karena itu, manusia memerlukan bimbingan untuk mencegah dan memperingatkan di saat lupa dan kakinya terpeleset dari jalan yang lurus.[1]
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dalam penciptaannya, paling tidak itulah yang termaktuf dalam firman Allah dalam al-Qur'an surat at-Tiin. Namun manusia masih membutuhkan bimbingan untuk menjelaskan nilai-nilai luhur dalam Islam dengan cara yang mudah dipahami dan gaya yang menarik sehingga dapat mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang dikehendaki Allah, sehingga bisa menikmati kehidupan yang layak dan bahagia.
Allah mewahyukan agama Islam ini dari langit ketujuh bukan  sekedar untuk menjadi bahan teoritis, karena wahyu Allah tersebut bukanlah sekedar kata-kata sakral yang hanya untuk dibaca agar memperoleh berkah tanpa dipahami maknanya. Allah mewahyukan agama ini untuk membimbing kehidupan individu, keluarga dan masyarakat luas, untuk membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya.[2]
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (١٥)يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (١٦)[3]
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkannya.[4] Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah: 15–16)[5]
Di antara beberapa petunjuk al-Qur'an, yakni adanya kisah para nabi Allah untuk yang bisa dijadikan panduan dan teladan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi maupun keluarga dan masyarakat. Kisah para Nabi adalah kisah kebesaran dan ketinggian, kehidupan mereka merupakan suatu kehidupan perjuangan. Tujuan Allah menjelaskan kisah para Nabi adalah agar manusia mengambil ajaran dan kemaslahatan dari perjalanan mereka yang harum, bagaikan lampu yang menyinari dengan sinarnya, mereka memberikan petunjuk dengan petunjuk-Nya, mereka sebagai contoh yang tinggi dalam kehidupannya, mereka berada dalam keutamaan dan keselamatan.[6]
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١١١)[7] 
Sungguh ada dalam kisah mereka itu suatu pembelajaran bagi orang-orang yang berfikir. (QS. Yusuf: 111)[8]
Ayat ini menjelaskan bahwa dari kisah para nabi tersebut dapat diambil pelajaran hidup yang berguna, yaitu citra mereka dalam hal kesabaran, ketaatan dan seterusnya. Citra dari para nabi ini patut untuk diteladani sebagai bahan untuk lebih mengoptimalkan keimanan.
Dalam konteks manusia dan keluarga yang bisa dikatakan manusia dan keluarga ideal Allah memberi porsi khusus, al-Qur'an surat Ali Imran ayat 33 menjelaskan bahwa Allah telah menempatkan beberapa orang dan keluarga lebih utama dari pada yang lain pada zamannya.
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ (٣٣)[9] 
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). (QS. Ali Imran: 33)[10]
Ayat ini menjelaskan kebijakan Allah dalam menetapkan manusia pilihannya sebagai manusia yang paling unggul pada masanya. Kebijakan Allah dalam ayat ini kemudian menimbulkan tanda tanya tentang apa yang dimaksud dengan Allah memilih dan apa dasarnya Allah memilih mereka?
Memang tidak ada yang bisa keberatan atas pilihan Allah, tetapi tidak ada salahnya kalau dicari jawabannya tentang kira-kira apa dasarnya. Jawaban yang diperoleh bisa saja memuaskan, bisa juga tidak memuaskan bagi yang lain, tapi apapun jawabannya harus diterima.[11] Dalam hal ini upaya untuk menemukan maksud yang terkandung di dalamnya adalah agar ayat tersebut tidak dianggap sebagai teks yang mati dan tidak kontekstual lagi dalam kehidupan.[12] 
Allah memilih berdasarkan pengetahuannya, menyangkut siapa yang dipilih. Allah juga memilih berdasarkan kebijaksanaan dan hikmah-Nya setelah memperhatikan, melihat dan mengetahui bahwa objek yang dipilih-Nya merupakan objek yang sesuai bagi-Nya.[13]
Dalam kutipan sejarah, keempat golongan yang dipilih Allah tersebut memang orang-orang yang mempunyai keistimewaan yang lebih dari pada yang lain. Misalnya Adam yang dinyatakan sebagai manusia pertama atau sebagai moyang manusia. Walaupun ada yang mengatakan bahwa sudah ada makhluk-makhluk sebelum Adam, bahkan bisa jadi sudah ada makhluk yang mirip bentuknya dengan manusia sebelum Adam. Tapi Allah memilih Adam sebagai orang tua manusia modern kira-kira 40.000 tahun yang lalu seperti yang telah dikatakan para pakar. Jadi Allah memilihnya sebagai bapak manusia yang ada sekarang.[14] Begitupun dalam hal Allah memilih Nuh dan dua keluarga, yakni keluarga Ibrahim dan Imran, tentu Allah mempunyai alasan tersendiri. Alasan inilah yang kemudian ingin dicari dan ditampilkan sebagai sebuah pengetahuan.
Dari gambaran yang sudah ada, keempat golongan tersebut memang selayaknyalah untuk dijadikan citra sebagai manusia dan keluarga ideal, serta bisa dijadikan teladan bagi setiap manusia dan keluarga yang ingin meningkatkan kualitas kepribadian dan keluarga. Jika dihubungkan pada kondisi saat ini yang sedang sulit mencari seorang figur yang bisa dijadikan teladan, kiranya alasan Allah dalam menjadikan manusia pilihan-Nya tersebut betul-betul menjadi manusia istimewa yang direkomendasi sebagai manusia dan keluarga ideal yang berhak diteladani.
Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 33 ini turun dalam konteks diskusi Nabi dengan sekelompok orang Nasrani yang antara lain membahas tentang kedudukan Siti Maryam dan kedudukan Nabi Isa yang sejak zaman Nabi mereka meyakini bahwa Nabi Isa itu adalah anak Tuhan, Tuhan atau satu dari tiga (Trinitas).[15]
Karena tujuan ayat ini adalah diskusi tentang hal tersebut, maka Allah menurunkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa Allah memilih mereka semua, baru kemudian ayat selanjutnya mengatakan bahwa yang dipilih oleh Allah diatas merupakan keturunan yang sama. Mereka semua sama dan membawa ajaran yang sama, yakni keesaan Tuhan (لم يلد ولم يولد). Kalau mereka merupakan keturunan yang sama dalam kemanusiaannya, maka jangan dibedakan-bedakan bahwa yang ini lebih mulia dari yang itu atau yang ini adalah Tuhan dan yang itu bukan Tuhan.[16]
Dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kajian Tafsir Hadis, dalam penelitian yang akan dilakukan ini, akan diungkap keistimewaan-keistimewaan mereka sebagai pribadi dan keluarga pilihan sehingga dengan pengungkapan ini, tidak disangsikan lagi bahwa mereka memang layak dikatakan sebagai manusia dan keluarga ideal, pilihan Tuhan yang layak dijadikan teladan.
B.       Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari latar belakang di atas, dalam kajian Tafsir Hadis, ada beberapa hal yang menjadi titik permasalahan dalam pembahasan terkait terpilihnya Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran sebagai manusia dan keluarga yang unggul di atas semua manusia pada zamannya dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 33.
1.      Tentang geneologi dari Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
2.      Tentang rahasia Tuhan terhadap pilihan-Nya menentukan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
3.      Tentang hubungan nasab antara Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
4.      Tentang keistimewaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan keluarga Imran.
Dalam menentukan manusia pilihan memang hak prerogatif Allah sebagai Sang Kreator, akan tetapi tentu ada maksud yang terkandung di dalamnya sehingga Allah lebih memilih mereka dibandingkan yang lain. Salah satu yang menjadi titik tekan dalam penelitian ini adalah mengungkap keistimewaan mereka, bahwasanya mereka merupakan manusia-manusia yang layak dijadikan panutan karena mereka merupakan pribadi dan keluarga yang ideal.
Pembahasan dalam ayat ini sangat luas sehingga perlu dispesifikkan titik pembahasannya. Maka titik fokus dari skripsi ini adalah mengungkap keistimewaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran. Pembahasan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada teladan dari mereka sebagai manusia dan keluarga ideal.
 
C.      Rumusan Masalah
Gambaran global tentang masalah manusia dan keluarga pilihan Allah dalam al-Qur'an surat Ali Imran ayat 33 pada latar belakang di atas akan dirumuskan dengan beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimana para mufassir menjelaskan QS. Ali Imran: 33?
2.      Bagaimana keistimewaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sebagai kelompok ideal?
 
D.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui penjelasan dari para mufassir tentang penafsiran dan penjabaran dari al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 33 yang mengungkapkan tentang manusia dan keluarga unggul pilihan Allah swt.
2.        Untuk mendapatkan gambaran tentang Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sehingga mereka layak disebut sebagai manusia dan keluarga ideal.
 
E.       Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian ini dari segi teoritis merupakan kegiatan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang wacana Tafsir Hadis melalui pendekatan metodologis-historis.
Sedangkan manfaat dalam segi praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan/pedoman yang layak dalam kehidupan khususnya bila dikaitkan dengan bagaimana menjadi manusia dan keluarga yang ideal dalam  masyarakat di tengah krisis kepribadian saat ini.
 
F.       Penegasan Judul
Skripsi ini berjudul Citra Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imran dalam Konteks Manusia dan Keluarga Ideal yang merupakan penguraian tentang keutamaan mereka sehingga Allah memilih mereka sebagai manusia yang lebih unggul dari pada yang lain pada zamannya.
Untuk itu perlu lah dijelaskan secara singkat terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dalam judul skripsi ini;
-       Citra merupakan persepsi tentang perilaku seseorang, atau gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi seseorang.[17]
-       Adam dan Nuh merupakan nabi yang diutus oleh Allah sebagai lambang dari pertobatan dan keteguhan hati dalam berdakwah.
-       Keluarga Ibrahim dan keluarga Imran adalah keluarga pilihan Allah yang dibangun dengan kesabaran, keikhlasan dan ketaatan kepada Allah, sehingga bisa dijadikan teladan bagi setiap manusia dalam membina rumah tangga.
-       Ideal adalah memuaskan karena sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan.[18]
Jadi, judul skripsi ini adalah mengungkap keutamaan dari Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sebagai manusia dan keluarga ideal untuk dijadikan teladan dalam kehidupan.
 
G.      Telaah Pustaka
Penelitian yang membahas tentang nabi seperti ini tentu bukan yang pertama dan satu-satunya, maka dari itu perlu untuk dilakukan telaah kepustakaan untuk mengukuhkan keaslian penelitian ini. Salah satu tulisan yang pembahasannya berkaitan dengan penelitian ini adalah;
1.      Skripsi dari Catur Rajwina tahun 2000 yang berjudul Kisah Nabi Ibrahim dan Zakariya Memperoleh Keturunan dalam al-Qur’an. Skripsi ini menjelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim dan Zakariya yang baru memperoleh keturunan ketika usia mereka sudah senja. Skripsi ini lebih menekankan pembahasannya pada pemaparan kisah serta mengkategorikan kisah mereka dalam beberapa kategori kisah. Bidikannya adalah bagaimana nantinya kisah dari kedua nabi tersebut dapat diambil hikmahnya dalam kehidupan dengan mengambil pelajaran dari kesabaran mereka. Kategorisasi kisah Nabi Ibrahim dan Zakariya memperoleh dalam kategori kisah al-Qur’an termasuk dalam kategori Kisah Para Nabi (Qishashul Anbiya’) yang mengandung dakwah mereka kepada kaumnya atas cobaan yang diterimanya. Skripsi ini tidak memaparkan perihal keluarga dari Nabi Ibrahim dan Zakariya sebagai sebuah keluarga yang taat dan patuh kepada Allah, dan hanya menampilkan Nabi Ibrahim dan Zakariya secara personal.
2.      Skripsi dari Emil Fuaidah tahun 2003, Substansi Dialog Antara Nabi Ibrahim dengan Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 260. Skripsi ini juga menjelaskan tentang Nabi Ibrahim secara personal dalam konteks substansi dari dialog antara Nabi Ibrahim dengan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 260 yang berbicara tentang pertanyaan Nabi Ibrahim kepada Allah mengenai bagaimana Allah menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim dinilai masih belum yakin sepenuhnya dengan kekuasaan Allah, sampai-sampai Allah memvisualisasikan kekuasaan-Nya. Skripsi ini hanya mengeksplorasi dan mengelaborasi substansi-substansi dialogis antara Nabi Ibrahim dengan Allah swt. yang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 260.
3.      Karya Muhammad Ali Al-Shabuny yang berjudul al-Nubuwwah wa al-Anbiya' diterjemahkan oleh Arifin Jamian Maun yang diberi judul Kenabian dan Para Nabi, di dalamnya sangat panjang membahas tentang kisah perorangan para Nabi. Selain itu, buku ini juga membahas tentang ketentuan maqam Nabi merupakan hak prerogatif Tuhan, artinya maqam Nabi itu murni hanya sebuah anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia yang dipilih-Nya. Namun penjelasan yang dipaparkan oleh penulis tidak sampai pada tingkat analisa yang mendalam dan cenderung tidak berdasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an.
4.     Buku lain yang membahas seputar kisah para Nabi adalah buku karya Rafi'udin dan In'am Fadhali dengan judul Lentera Kisah 25 Nabi–Rasul. Buku ini murni hanya membahas tentang kisah-kisah perorangan para Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam al-Qur'an, diawali dari kisah Nabi Adam as. dan diakhiri dengan kisah Nabi Muhammad saw. Dalam buku ini secara terperinci dan sistematis menjelaskan kisah 25 Nabi dan Rasul dengan menghadirkan ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang para Nabi dan Rasul tersebut. Dalam buku ini tidak ditampilkan tentang keistimewaan para Nabi selain yang sudah lumrah di dengar dari kisah-kisah yang lain.
Sedangkan fokus penelitian yang diangkat dalam skripsi ini membahas secara mendetail firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 33 yang menjelaskan bahwa Allah telah memilih Nabi Adam dan Nuh serta keluarga Ibrahim dan Imran sebagai manusia dan keluarga yang melebihi manusia dan keluarga yang lain di muka bumi pada zamannya masing-masing. Penelitian ini nantinya akan menunjukkan keistimewaan dan teladan dari Nabi Adam dan Nuh serta keluarga Nabi Ibrahim dan Imran sebagai sosok manusia dan keluarga yang ideal. Konsep manusia dan keluarga ideal dari kisah Nabi Adam dan Nuh serta keluarga Nabi Ibrahim dan Imran ini nantinya akan dijadikan sebagai panduan hidup untuk menjadi manusia yang ideal sesuai dengan petunjuk Allah serta dijadikan kunci sukses dalam membina rumah tangga dengan membangun sebuah keluarga yang ideal seperti keluarga Ibrahim dan Imran. Penelitian ini belum pernah diangkat dalam penelitian sebelumnya sehingga akan menjadi menarik dan bermanfaat.
 
H.      Metodelogi Penelitian
1.      Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Penentuan  terhadap model penelitian ini untuk menemukan kevalidan objek penelitian yang akan dikaji. Sehingga, hasil proses dari penelitiaan yang akan dilakukan ini akan betul-betul bisa menggambarkan tentang keutamaan Adam dan Nuh serta keluarga Ibarahim dan Imran sebagai kelompok manusia ideal yang semestinya dijadikan teladan.
2.      Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dan kajiannya disajikan secara eksploratif analitis. Oleh karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan elektronik, bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian ini.
Sedangkan dalam standar Ilmu Tafsir, penelitian ini akan menggunakan metode tahlili (analisa), yakni dengan menghadirkan dan menganalisa ayat-ayat yang lain, kemudian ditunjang dengan hadis-hadis dan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan ayat 33 surat Ali Imran. Dengan model ini kemungkinan untuk menghasilkan penelitian yang benar akan dapat dimaksimalkan.
3.      Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan terdiri dari dua jenis sumber, yakni primer dan sekunder. Sumber primer atau rujukan utama yang akan dipakai, yaitu Al-Qur'an al-Karim.
Sedangkan sumber sekunder yang dijadikan sebagai pelengkap dalam penelitian ini antara lain:
a.        Tafsi>r al-Mishba>h
b.       Tafsi>r Ibn Kathi>r
c.        Tafsir Fi Zhilalil Qur’a>n
d.       Tafsir al-Azha>r
e.        Tafsir al-Thabari
Penelitian ini juga akan ditunjang oleh buku-buku rujukan umum yang terkait dengan pembahasan.
 4.      Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada data-data tertulis seperti buku dan jurnal ilmiah, serta ditopang oleh data elektronik sepeti video dokumenter.
5.       Metode Analisis Data
Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan.[19] Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak (peneliti).
 
I.         Rencana Sistematika Pembahasan (Out Line)
Untuk memperoleh kesimpulan yang utuh dan terpadu, maka sistematika pembahasan yang disajikan terbagi ke dalam beberapa bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab, dengan rincian sebagai berikut :
            Bab I, merupakan pertanggungjawaban metodologis, yang  terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian, sumber data  dan sistematika  pembahasan.
Bab II, merupakan landasan teori tentang manusia dan keluarga ideal. Memaparkan tentang kriteria manusia dan keluarga ideal secara umum.
            Bab III, merupakan penyajian data tentang surat Ali Imran ayat 33; tentang pandangan para mufassir tentang konteks surat Ali Imran ayat 33, tentang isi kandungan surat Ali Imran sendiri, serta hubungannya dengan ayat dan surat lain.
            Bab IV, merupakan tahap analisis tentang Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imran Sebagai Figur; mengetengahkan Keistimewaan Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Keluarga Imran Sebagai Manusia dan Keluarga Ideal, serta Relevansi Idealitas Adam dan Nuh serta Keluarga Ibrahim dan Imran dengan Konteks Kehidupan Masyarakat Masa Kini.
            Bab V, mengetengahkan hasil akhir atau kesimpulan tentang analisa yang telah diuraikan pada bab IV, kemudian diakhiri dengan saran-saran.




[1] Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), 6
[2] Ibid, 6
[3] Al-Qur’an Surat al-Maidah: 15–16
[4] Cahaya maksudnya adalah Nabi Muhammad saw., dan Kitab maksudnya adalah al-Qur’an.
[5] Departemen Agama RI, Al-Juma>natul ‘Ali>; Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: J-Art, 2005)
[6] Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, Terj. Arifin Jamian Maun (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), 13
[7] Al-Qur’an Surat Yusuf: 111
[8] Departemen Agama RI, Al-Juma>natul ‘Ali>; Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: J-Art, 2005)
[9] Al-Qur’an Surat Ali Imran: 33
[10] Departemen Agama RI, Al-Juma>natul ‘Ali>; Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: J-Art, 2005)
[11] Penjelasan Quraish Shihab dalam acara TAFSIR AL-MISHBAH di MetroTV pada tanggal 09 November 2010
[12] Dalam kajian kontemporer upaya seperti itu disebut al-Qira’ah al-Muntijah (pembacaan yang produktif), yakni pembacaan atas teks al-Qur’an yang tak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tak terbaca tersebut. Baca: Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKi>S, 2010), 60
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, Jilid II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 75
[14] Penjelasan Quraish Shihab dalam acara TAFSIR AL-MISHBAH di MetroTV pada tanggal 09 November 2010
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Kamus Bahasa Indonesia Online, www.KamusBahasaIndonesia.org
[18] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 538
[19] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,1993), 76–77

Sabtu, 13 Agustus 2011

PUASA DAN PERILAKU KOLEKTIF BANGSA


Ramadhan merupakan bulan yang sangat familiar di telinga setiap orang Islam, karena semenjak kecil sudah diperkenalkan dengan Ramadhan. Secara etimologi, Ramadhan berarti membakar atau amat panas. Penyebutan bulan Ramadhan sebagai bulan ke-9 pada kalender Hijriah sangat sesuai dengan kondisi cuaca pada bulan tersebut yang sangat menyengat di jazirah Arab. Puasa sejatinya bukan hanya ada dalam tradisi Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Jauh sebelumnya, umat agama lain juga melakukan puasa. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183.
Puasa di bulan Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Puasa merupakan ibadah individual sekaligus sosial yang bertujuan untuk membentuk manusia yang lebih baik. Puasa merupakan ibadah yang vertikal, tidak ada yang berhak memberi penilaian selain Tuhan. Begitu spesialnya orang yang berpuasa, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa di surga nanti, ada satu pintu yang tidak boleh masuk dari pintu itu kecuali orang-orang yang berpuasa, yakni Babu al-Rayyan.
Dari ajaran berpuasa di bulan suci Ramadhan tersebut dapat diperoleh hikmah berupa nilai kesalehan, dan bagaimana menjadi bagian dari masyarakat yang dilandasi oleh kualitas iman dan takwa. Ramadhan membentuk diri untuk tumbuh menjadi pribadi yang kuat, senantiasa ikhlas dalam beramal. Hasil terbaik yang diperoleh dari puasa Ramadhan ini adalah ketika memiliki perilaku berpuasa yang bisa diterapkan di luar Ramadhan.
Jika dalam prakteknya tidak selaras dengan hikmahnya, maka akan terkesan bahwa puasa di bulan Ramadhan hanya memberi kerepotan setahun sekali selama sebulan. Siang hari dalam Ramadhan dijalani dengan lapar dan dahaga, dan harus bangun pagi-pagi buta untuk sahur, serta pengeluaran yang membengkak sehingga tepat jika ada istilah “penghasilan setahun habis sebulan”, dan yang paling parah adalah perasaan selalu dibayang-bayangi cemoohan “kentut dari mulut” karena nafas yang tidak sedap selama sebulan.
Namun tidak demikian jika dalam menjalankannya dengan penuh keikhlasan, karena dengan semua kesengsaraan yang harus ditanggung selama bulan puasa, tidak berlebihan jika ibadah ini menjanjikan segala kemuliaan langit. Maka sudah seharusnya dalam menjalani puasa senantiasa ditanamkan kesadaran untuk mendapatkan manfaat terbaik dari puasa agar puasa tidak dipahami sebagai kesengsaraan dan penyiksaan diri belaka.
Kesalehan Sosial
Dengan berpuasa maka akan merasa lebih dekat dengan Tuhan karena dengan berpuasa bangunan vertikal dengan Tuhan sudah terbangun dan pahala puasa merupakan hak prerogatif Tuhan. Berpuasa dapat mendidik manusia untuk berperilaku jujur. Sekalipun sudah ada makanan dan tidak ada orang yang melihat, orang yang berpuasa tidak akan makan sebelum waktu berbuka. Hal tersebut dilakukan karena selalu merasa dekat dan selalu diawasi oleh Allah. Allah menegaskan dalam salah satu ayat puasa, yaitu surat al-Baqarah ayat 186 yang artinya,”Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat”. Di dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah itu dekat, sehingga hikmah dari melaksanakan puasa adalah lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.
Maka jika terdapat orang yang berpuasa namun tidak jujur, maka akan menghilangkan pahala dari puasa yang dijalani. Orang yang demikian hanya mendapat lapar dan dahaga saja, serta ibadahnya sia-sia. “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Al-Thabrany).
Konteks puasa dalam Islam sebenarnya adalah untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang atau selalu dalam kesusahan (dhuafa). Dengan demikian, selain terbentuk kesalehan spritual, secara alamiah akan terbentuk juga kesalehan sosial sehingga orang yang berpuasa tidak akan meminggirkan mereka ke sudut-sudut kehidupan. Di sinilah kepedulian akan terbentuk dan upaya untuk mengangkat mereka akan terbangun. Paling tidak, upaya ini termanifestasi dengan ditunaikannya Zakat Fitrah.
Aspek Kebangsaan
Nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945 mengemukakan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Jika negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka Indonesia lebih menekankan prinsip keadilan daripada prinsip kemerdekaan. Ini selaras dengan salah satu dasar yang dibawakan Islam, yaitu keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam kehidupan berpolitik. Kata keadilan berkali-kali dikemukakan dalam al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Islam. Rumusannya dalam al-Qur’an adakalanya berupa himbauan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilu)”, dan adakalanya berupa “keharusan menegakkan keadilan (kunu qowwamina bi al-qisthi)”.
Indonesia adalah negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ada puluhan juta bahkan ratusan juta orang yang berpuasa setiap Ramadhan. Akan tetapi, moralitas bangsa ini semakin merosot ke tingkat yang mengharukan. Sehingga dalam kasus ini, tidak berlebihan jika ada ungkapan bahwa puasa tidak merubah aspek apapun dalam perilaku kolektif bangsa.
Inti dari ajaran Islam itu adalah akhlak, untuk itu tujuan Rasullah diutus oleh Allah ke muka bumi  adalah untuk menyempurnakan akhlak. Namun, akhlak sudah menjadi barang langka pada zaman sekarang. Perilaku masyarakat sudah mengalami pergeseran karena cenderung menegasikan pesan yang disampaikan agama melalui keteladanan dari para pembawa risalah. Barometer kemerosotan moral bangsa ini juga dapat dilihat dari perilaku para penentu kebijakan di negara ini, termasuk anggota legislatif yang merupakan penyambung lidah rakyat.
Dewasa ini gencar terdengar berita miring tentang rapat-rapat para anggota DPR, karena tidak sedikit rapat-rapat Badan Kelengkapan DPR digelar di hotel berbintang. Seperti yang dilakukan oleh Panja RUU BPJS menggelar rapat selama 3 hari di hotel Intercontinental, Panja RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Komisi XI DPR yang menggelar rapat di hotel Aryaduta di Menteng, Jakarta Pusat. Selain sudah menghabiskan uang begitu besar tetapi hasil kinerja anggota dewan juga tidak berubah yang menyebabkan tidak adanya trust dari masyarakat.
Tentu dipertanyakan lagi komitmen dan kesungguhan mereka dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Ambigu, bagaimana mungkin mereka memikirkan kepentingan rakyat kecil yang berada di bawah garis kemiskinan dan hidup dalam kelaparan, sementara perut mereka kenyang dan berada tempat nyaman di hotel berbintang. Maka tidak mengherankan jika keputusan yang dihasilkan dari rapat-rapat tersebut hanya sebuah manifestasi dari kepentingan politik belaka.
Ini sangat bertolak belaka dengan cita-cita puasa yang lebih menitikberatkan pada aspek kepedulian terhadap sesama yang hidup dalam himpitan ekonomi. Seyogyanya, jika ingin membuat suatu kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, haruslahn merasakan dulu apa yang dirasakan rakyat kecil, hidup dibayang-banyangi rasa lapar. Maka segala keputusan yang dibuat akan benar-benar berpihak pada rakyat jelata karena sudah tahu apa yang dirasakan rakyatnya. Jika saja para anggota dewan yang terhormat meneladani pesan yang terangkum dalam puasa Ramadhan ini, niscaya kesejahteraan rakyat akan benar-benar diperhatikan.
Dalam suatu kesempatan, Ketua DPR RI, Marzuki Alie berharap puasa di bulan Ramadhan menjadi kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dengan meneladani sifat-sifat terpuji Nabi Muhammad, seperti kesabaran, kedisiplinan, kejujuran, dan keikhlasan. Sifat terpuji Rasulullah ini diharapkannya menjadi modal spiritual dalam menjalankan tugas, baik selama Ramadhan maupun setelahnya ila yaumil kiamah. Dia berharap bangsa Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang baik yang selalu dalam ampunan Allah.
Namun masyarakat tetap akan menganggap itu sebagai pepesan kosong belaka jika kinerja lembaga legislatif tidak mencerminkan keberpihakannya kepada rakyat jelata.Herbert Simon, ahli teori keputusan dan organisasi mengonseptualisasikan
Aktivitas intelegensi yakni penelusuran kondisi lingkungan yang
memerlukan pengambilan keputusan
Aktivitas desain yakni terjadi tindakan penemuan, pengembangan
dan analisis masalah
Aktivitas memilih yakni memilih tindakan tertentu dari yang tersedia
B. Fungsi dan tujuan pengambilan keputusan
Fungsi pengambilan keputusan yaitu :
Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah
mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut :
- Pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional
- Sesuatu yang bersifat futuristik, artinya menyangkut dengan hari depan/masa yang akan datang, dimana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama
1
Tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan atas dua yaitu :
- Tujuan bersifat tunggal yaitu tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah artinya sekali diputuskan dan tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain
- Tujuan bersifat ganda yaitu tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua masalah atau lebih yang bersifat kontradiktif atau bersifat tidak kontradiktif
C. Langkah dalam pengambilan keputusan
Mintzberg mengungkapkan bahwa langkah-langkah dalam pengambilan
keputusan terdiri dari :
1. Tahap identifikasi
Tahap ini adalah tahap pengenalan masalah atau kesempatan muncul dan diagnosis dibuat. Sebab tingkat diagnosis tergantung dari kompleksitas masalah yang dihadapi
2. Tahap pengembangan
Tahap ini merupakan aktivitas pencarian prosedur atau solusi standar yang ada atau mendesain solusi yang baru. Proses desain ini merupakan proses pencarian dan percobaan di mana pembuat keputusan hanya mempunyai ide solusi ideal yang tidak jelas
3. Tahap seleksi
Tahap ini pilihan solusi dibuat, dengan tiga cara pembentukan seleksi yakni dengan penilaian pembuat keputusan : berdasarkan pengalaman atau intuisi, bukan analisis logis, dengan analisis alternatif yang logis dan sistematis, dan dengantawar-menawar saat seleksi melibatkan kelompok pembuat keputusan dan semua manuver politik yang ada. Kemudian keputusan diterima secara formal dan otorisasi dilakukan.
Seperti yang terlihat dalam skema tahap pengambilan keputusan dalam
organisasi menurut Mintzberg berikut :
2
D. Dasar-dasar pendekatan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan harus dilandasi oleh prosedur dan teknik serta didukung oleh informasi yang tepat (accurate), benar(reliable) dan tepat waktu (timeliness). Ada beberapa landasan yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang sangat bergantung dari permasalahan itu sendiri. Menurut George R.Terry dan Brinckloe disebutkan dasar-dasar pendekatan dari pengambilan keputusan yang dapat digunakan yaitu :
Intuisi
Pengambilan keputusan yang didasarkan atas intuisi atau perasaam memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan berdasarkan intuisn ini mengandung beberapa keuntungan dan kelemahan.
Keuntungan :
- waktu yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif lebih
pendek
- untuk masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan keputusan
ini akan memberikan kepuasan pada umumnya
- kemampuan mengambil keputusan dari pengambil keputusan itu
sangat berperan, dan itu perlu dimanfaatkan dengan baik.
Kelemahan :
- Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik
- Sulit mencari alat pembandingnya, sehingga sulit diukur kebenaran
dan keabsahannya
Tahap 1
Identifikasi
Pengenalan
Diagnosis
Tahap 2
Pengembangan
Pencarian
Desain
Tahap 3
Seleksi
Penilaian
Analisis
Penawaran
Otorisasi
3
- Dasar-dasar lain dalam pengambilan keputusan seringkali
diabaikan.
Pengalaman
Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis, karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat diperhitungkan untung ruginya terhadap keputusan yang akan dihasilkan. Orang yang memiliki banyak pengalaman tentu akan lebih matang dalam membuat keputusan akan tetapi, peristiwa yang lampau tidak sama dengan peristiwa yang terjadi kini.
Fakta
Pengambilan keputusan berdasarkan fakt dapat memberikan keputusan yang sehat, solid dan baik. Dengan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap pengambilan keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima keputusan-keputusan yang dibuat itu dengan rela dan lapang dada.
Wewenang
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannyaatau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan :
- Kebanyakan penerimaannya adalah bawahan, terlepas apakah
penerimaan tersebut secara sukarela ataukah secara terpaksa
- Keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup
lama
- Memiliki daya autentisitas yang tinggi
Kelemahan :
- dapat menimbulkan sifat rutinitas
- mengasosiasikan dengan praktik diktatorial
- sering melewati permasalahan yang seharusnya dipecahkan
sehingga dapat menimbulkan kekaburan
4
Logika
Pengambilan keputusan yang berdasar logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semuan unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan keputusan. Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada pengambilan keputusan secara logika terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
- kejelasan masalah
- orientasi tujuan : kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai
- pengetahuan alternatif : seluruh alternatif diketahui jenisnya dan
konsekuensinya
- preferensi yang jelas : alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria
- hasil maksimal : pemilihan alternatif terbaik didasarkan atas hasil
ekonomis yang maksimal
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yaitu :
Internal Organisasi seperti ketersediaan dana, SDM, kelengkapan
peralatan, teknologi dan sebagainya
Eksternal Organisasi seperti keadaan sosial politik, ekonomi, hukum
dan sebagainya
Ketersediaan informasi yang diperlukan
Kepribadian dan kecapakan pengambil keputusan
F. Model Perilaku Pengambilan Keputusan
Berikut empat rangkaian model pengambilan keputusan :
1. Model rasionalitas ekonomi
Model ini berasal dari ekonomi klasik dimana pembuat keputusan sepenuhnya rasional dalam segala hal. Berkaitan dengan aktivitas pengambilan keputusan, terdapat asumsi :
5
- keputusan akan sepenuhnya rasional dalam hal rencana dan tujuan
- terdapat sistem pilihan yang lengkap dan konsisten yang
memungkinkan pemilihan alternatif
- kesadaran penuh terhadap semua kemungkinan alternatif
- tidak ada batasan pada kompleksitas komputasi yang dapat
ditampilkan untuk menentukan alternatif terbaik
- probabilitas kalkulasi tidak menakutkan ataupun misterius
Pada model rasionalitas ekonomi terdapat teknik rasional moderen yaitu pendekatan scientific management seperti ABC, EVA dan MVA. Pada teknik ABC (activity-based cosying) menentukan biaya yang berhubungan dengan aktivitas seperti memproses pesanan penjualan, mempercepat pesanan pemasok, dan atau pelanggan, memecahkan masalah kualitas pemasok dan atau masalah pengantaran, dan memperlengkapi mesin. Untuk teknik EVA (economic value added) biaya semua kapital ditentukan misalnya biaya kapital ekuitas (uang yang disediakan pemegang saham), EVA berguna juga sebagai ukuran untuk mengambil keputusan mengenai masalah akuisisi dan pajak sampai masalah kompensasi. Sementara MVA (market value added) dapat menunjukkan keuntungan yang diperoleh perusahaan atau seberapa besar kapital yang terbuang kaitannya dengan nilai pasar saham.
2. Model rasionalitas terbatas dari Simon (Satisficing)
Model ini menyatakan bahwa perilaku pengambilan keputusan dapat dideskripsikan sebagai rasional dan maksimal tetapi terbatas dimana pembuat keputusan berakhir dengan kepuasan minimal karena tidak memiliki kemampuan untuk memaksimalkan. Hal tersebut dikarenakan informasi yang kurang sempurna, terdapat batasan waktu dan biaya, tawaran alternatif kurang disukai dan efek kekuatan lingkungan tidak dapat diabaikan.
3. Model penilaian heuristik dan bias
Model ini diprakarsai oleh ahli teori kognitif yaitu Kahneman dan
Tversky yang
menyatakan
bahwa
pembuat keputusan mengandalkan heuristik yakni penyederhanaa strategi atau metode berdasarkan pengalaman.
6
 Ingat, faktor utama dari timbulnya perilaku menyimpang masyarakat di Republik ini adalah karena minimnya kesejahteraan. Jika kesejahteraan sudah merata maka moral bangsa ini bisa diupayakan untuk kembali dibentuk. Negara akan mampu mengambil perannya dalam keikutsertaannya membangun moral bangsa.
Semoga dengan mengilhami makna puasa di bulan suci Ramadhan ini, semua unsur di negeri ini dapat mencerminkan dan menerapkannya dalam keseharian hidup berbangsa dan bernegara.
Dimuat dalam BERANDA LPM Solidaritas IAIN Sunan Ampel Surabaya Edisi Agustus-September 2011