"Public-private
partnership" adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan hubungan
yang terjadi diantara sektor publik (pemerintah) dan pihak swasta dalam konteks
pembangaunan infrastruktur dan pelayanan lain. PPP merupakan bentuk kerjasama
antara pelaku pembangunan untuk dapat mencapai keberhasilan pembangunan melalui
pencapaian investasi. Pelaku PPP terdiri dari Pemerintah, masyarakat,
investor/pengusaha dan juga NGO. Para pelaku tersebut memiliki fungsi dan tugas
yang berbeda-beda dalam melakukan pembangunan.
Ada tiga
kebutuhan utama yang memotivasi pemerintah untuk terlibat dalam PPP antara lain
adalah:
1.
Untuk menarik penanaman modal
pribadi.
Pemerintah
bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan seiring pertumbuhan populasi,
sehingga pemerintah harus memiliki cukup pembiayaan untuk pembangunan. Maka
untuk pemenuhan pembiayaan dan memelihara infrastruktur, pemerintah harus
menggandeng swasta. Dengan adanya PPP, memungkinkan sektor swasta untuk mencari
kesempatan berinvestasi agar sumber daya yang belum digunakan dari lokal,
regional, atau internasional dapat dimanfaatkan. Tujuan dari sektor swasta
selain untuk mendapatkan laba adalah juga untuk dapat membantu pemerintah dalam
membiayai pembangunan.
2.
Untuk meningkatkan efisiensi dan
menggunakan sumberdaya lebih efektif.
Sumber daya alam
yang semakin langka jumlahnya menjadi tantangan kritis bagi pemerintah.
Pemerintah tidak akan mampu lagi melakukan pembangunan jika hanya melibatkan
dirinya sendiri, Oleh karena, itu, diperlukan adanya kerjasama dengan sektor
publik yang memahami dan memiliki cara untuk menggunakan sumberdaya se-efisien
mungkin.
3.
Untuk memperbaiki sektor melalui
realokasi aturan, insentif, dan tanggung jawab.
Dalam public-private partnership ada tiga
karakteristik kunci agar proses pembangunan dapat berjalan, antara lain:
- Memiliki
perjanjian kontrak yang menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing.
-
Menanggung resiko bersama, timbal
balik finansial kepada sektor privat yang sepadan dengan hasil pencapaian yang
diinginkan sektor publik.
B.
Public-Private Patnership dalam Pembangunan Infrastruktur
Dalam menjalankan tugas dan peranannya, pemerintah senantiasa
berupaya menyediakan barang-barang kebutuhan dan pelayanan yang baik untuk
warganya, terutama dalam penyediaan infrastruktur. Penyediaan infrastruktur
merupakan tanggung jawab pemerintah bagi warga negaranya karena infrastruktur tidak
hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods,
oleh karena itu, pemerintah memiliki kepentingan untuk membangun
infrastruktur yang merupakan hal penting bagi masyarakat.[2]
Terbatasnya dana yang dimiliki oleh pemerintah,
membuat pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan
oleh masyarakat seperti jalan, jembatan, jaringan air minum, dan pelabuhan.
Alasan ini juga yang menjadi alasan mengapa pemerintah merasa penting untuk
menggandeng swasta dalam pelaksanaan pembangunan.
Bentuk kerjasama haruslah memang untuk kepentingan
pembangunan bukan untuk kepentingan di luar itu. Kerjasama ini bisanya muncul pada situasi dimana kompetisi dalam
pasar tidak berkembang dengan baik, karena adanya monopoli alamiah atau kondisi
struktur yang kurang mendukung. Dengan adanya konsesi diharapkan peluang
terciptanya persaingan di pasar dapat terbuka sehingga memberikan keuntungan
bagi konsumen. Beberapa bentuk kerjasama dalam bingkai PPP, antara lain:[3]
1.
Kontrak Servis
Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk
melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa
lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi (fee).
Beberapa contoh
Kontrak Servis:
-
Kontrak pembersihan jalan
-
Pengumpulan dan pembuangan sampah
-
Pemeliharaan jalan
-
Pengerukan kali
-
Jasa mobil derek
2.
Kontrak Manajemen
Pernerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation dan
maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak
swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan
kompensasi tetap (fixed fee).
Beberapa contoh
Kontrak Manajemen:
-
Perbaikan dan pemeliharaan jalan
-
Pembuangan dan pengurugan sampah (solid
waste landfill)
-
Pengoperasian instalasi pengolahan
air (water treatment plant)
-
Pengelolaan fasilitas umum (rumah
sakit, stadion olahraga, tempat parkir, sekolah)
3.
Kontrak Sewa (lease)
Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed
fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola,
mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna
fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial.
Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun.
Beberapa contoh
Kontrak Sewa (lease):
-
Taman hiburan (entertainment
complex)
-
Terminal Udara/Bandara
-
Armada bis atau transportasi lainnya
4.
Kontrak Build-Operate-Transfer
(BOT)
BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan
usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung
jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan
(O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun;
biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak
berlaku antara 10 sampai 30 tahun.
5.
Kontrak Konsesi
Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan
tanggung jawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk
mengoperasikan, memelihara, dan membangun suatu aset infrastruktur, serta
memberikan hak untuk mengembangkan, membangun, dan mengoperasikan fasilitas
baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsesi berlaku antara
20 tahun sampai 35 tahun.
Beberapa contoh
Kontrak Sewa (lease):
-
Pelabuhan Udara (keseluruhan atau
sebagian)
-
Jalan Tol
-
Pelabuhan Laut
-
Penyediaan dan distribusi air bersih
-
Rumah Sakit
-
Fasilitas olahraga
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menargetkan penandatangan
perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) proyek enam ruas tol dalam kota Jakarta
dilaksanakan pada September 2012. Hal itu menyusul pengajuan surat penawaran
proyek oleh PT. Jakarta Tollroad Development (JTD).
Panitia Lelang Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) untuk
Proyek Enam Ruas Tol Dalam Kota masih akan melakukan penelaahan setelah surat
penawaran diajukan, dan setelah dilakukan evaluasi, negosiasi, dan kesepakatan,
hal itu akan dituangkan dalam kontrak PPJT antara badan usaha jalan tol dan Badan
Pengatur Jalan Tol (BPJT). Langkah tersebut dilakukan untuk percepatan
pembangunan proyek tersebut.
Dokumen penawaran yang diserahkan terdiri atas dua bagian
yakni detail teknis seperti desain dan gambar, serta bagian kedua berupa
proposal keuangan. Selanjutnya, pihak PT Jakarta Tollroad Development (JTD)
selaku pihak swasta yang akan bekerjasama dengan pemerintah akan menunggu
dokumen dibuka oleh BPJT guna diverifikasi isiannya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah
menerbitkan surat penetapan lokasi pembangunan (SP2LP) Enam Ruas Tol Dalam Kota
pada 11 April 2012. Surat Keterangan mengenai SP2LP dituangkan dalam Surat
Keputusan Gubernur DKI No 598/2012. SK tersebut menyebutkan lokasi proyek
melewati lima wilayah di DKI yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta
Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Berdasarkan SP2LP tersebut, panjang
proyek ditetapkan sepanjang 69.770 kilometer dan lebar 25,88 meter.
Dengan diterbitkannya SP2LP, maka proses pémbebasan tanah
diperkirakan bisa dilakukan pada awal 2013. Pasalnya, pemerintah perlu
menetapkan Tim Pembebasan Tanah (TPT) dan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) sebelum
pembebasan tanah dilaksanakan. Proses pembebasan tanah harus disesuaikan dengan
aturan baru. Pasalnya, pemerintah segera menerbitkan Perpres Pengadaan Tanah
yang merupakan turunan dari UU No 12/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sementara itu, enam ruas tol Lingkar Dalam Kota Jakarta akan
dibangun dengan nilai investasi Rp 40,02 triliun. Pembangunan proyek dilakukan
dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pembangunan ruas Semanan-Sunter
sepanjang 17,88 kilometer senilai Rp 9,76 triliun dan ruas Sunter-Bekasi Raya
(11 km) senilai Rp 7,37 triliun. Tahap selanjutnya adalah pembangunan ruas tol
Duri Pulo-Kampung Melayu (11,38 km) senilai Rp 5,96 triliun dan
Kemayoran-Kampung Melayu (9,65 km) senilai Rp 6,95 triliun. Tahap ketiga adalah
pembangunan ruas tol koridor Ulujami-Tanah Abang (8,27 km) senilai Rp 4,25
triliun. Tahap terakhir adalah pembangunan ruas jalan tol Pasar Minggu-Casablanca
sepanjang 9,56 kilometer senilai Rp 5,71 triliun.
Analisis
Rencana pembangunan tol dalam kota yang melibatkan pihak
swasta dalam pelaksanaannya sebagai pelaksana proyek ini merupakan salah satu
contoh penerapan public-private partnership di Indonesia. Pemerintah
tentunya tidak bias melakukan proyek ini jalan tol dalam kota ini sendiri
karena keterbatasan sarana dan prasarana.
Dalam penerapan PPP, tentu banyak hal yang menjadi
pertimbangan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Aidan R. Vining dan Anthony E.
Boardman dalam Public–Private Partnerships; Eight Rules for Governments,
setidaknya ada delapan hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam
menggandeng pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur.
Rencana pembangunan Tol Dalam Kota ini sudah memenuhi
salah satu dari delapan syarat Aidan dan Anthony, yakni Establish A
Jurisdictional P3 Constitution (membangun sebuah yurisdiksi konstitusi PPP),
yang salah satu fungsinya adalah memberi kesempatan kepada publik untuk melakukan
kontrak kerjasama serta member jaminan kredibilitas patner (private) yang jelas.[5] Seperti yang dipaparkan di atas, rencana
pembangunan tol dalam kota ini sudah diumumkan jauh-jauh hari sebelum tanggal
tender dilaksanakan. Rincian pelaksanaannya juga sudah diumumkan oleh
pemerintah sebagai bahan pertimbangan bagi pemilik proyek untuk melakukan
kajian mendalam tentang rencana pembangunan tol tersebut.
[1] Public-private
partnership:
http://punyanasyifa.blogspot.com/2011/04/publik-private-patnership.html
[3] Public-private
partnership:
http://punyanasyifa.blogspot.com/2011/04/publik-private-patnership.html
[4]
http://pkps.bappenas.go.id/index.php/berita/143-berita-internal/1030-september-ppjt-proyek-6-tol-dalam-kota-diteken
[5] Aidan R. Vining
dan Anthony E. Boardman, Public–Private Partnerships; Eight Rules for
Governments. (Jurnal Public Works Management & Policy, Volume 13 Number
2, October 2008)