Kritik Antipositivisme Terhadap Positivisme
Positivisme telah
memberikan banyak warna yang khas dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam
perannya sebagai suatu pendekatan, cara pandang, perspektif, paradigma, ataupun
filsafat ilmu,. Padahal, pada awalnya positivisme digunakan untuk menjelaskan
gejala-gejala alam melalui penelitian empirik. Penganut positivis memiliki
pemahaman bahwa gejala alam dapat diukur melalui metode-metode penelitian empirik,
sehingga melalui penelitian tersebut didapat hukum-hukum kehidupan (hukum-hukum
alam). Hukum-hukum alam tersebut menurut positivisme, hanya merupakan
pernyataan keteraturan hubungan yang terdapat di antara gejala-gejala empiris.[1] Untuk menemukan hukum-hukum alam, maka ilmu pengetahuan
disusun secara sistematis untuk mengumpulkan data-data empiris. Alam, sebagai
objek kajian pemikir positivisme, tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik
seperti langit, bintang, bulan, bumi, angin, air, dan sejenisnya. Akan tetapi,
manusia dan kehidupannya juga bisa dijadikan objek penelitian, karena manusia
dianggap bagian dari alam. Positivisme kemudian lebih dikenal sebagai cara
pandang ilmu alamiah.
Menurut Foucault, kaum
positivisme terlalu percaya bahwa obyektifitas itu ada. Untuk meyakinkan
terhadap kebenaran klaimnya, maka dibuatlah serangkaian aturan atau prosedur
untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Bagi Foucault tidak ada sesuatu
yang obyektif, karena segala sesuatu subyektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta
-baik sadar atau tidak- ketika sebuah pengetahuan disusun. Bahkan pengetahuan
sendiri muncul, sebagai sesuatu yang subyektif dalam fungsinya mencampakkan
gejala unreason atau ketidaksadaran. Pengetahuan selalu bersifat politis,
tetapi bukan karena mempunyai konsekuensi politik atau digunakan demi
kepentingan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan karena adanya
relasi-relasi kuasa. Dan kuasa itu tidak selalu bekerja melalui penindasan dan
represi, tetapi terutama melalu normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak dapat
dilokalisasi, karena ia bekerja lewat aturan dan susunan. Dengan demikian kuasa
tidak bersifat negatif, refresif dan subyektif, justru kuasa memiliki ciri
positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas dan juga ritus-ritus kebenaran.[2]
Dengan melakukan
kritik terhadap susunan pengetahuan, maka gugatan ini dengan tepat meruntuhkan
seluruh jantung klaim keabsahan pengetahuan yang demikian di lihat sebagai
sesuatu yang mapan. Secara khusus, Foucault melihat kecenderungan
operasionalisasi pengetahuan, telah menjadikan ilmu-ilmu kemanusiaan,
kehilangan nilai kemanusiaannya. Foucault mencoba memanusiakan kembali manusia.[3]
Dari paparan kritik di
atas, dapat dipahami bahwa asumsi utama dari pendekatan Anti positivisme adalah
tidak adanya sebuah kebenaran absolut. Kebenaran adalah relatif tergantung dari
interpretasi masing-masing individu. Pendekatan ini tidak mempercayai adanya
obyektivitas yang benar-benar bisa obyektif terlepas dari nilai-nilai dan
subyektivitas seseorang. Realitas sosial yang ada merupakan hasil dari rekayasa
manusia. Segala sesuatunya bisa dikonstruksi dan dimanipulasi oleh manusia.
Satu hal yang bisa kita pegang adalah bahwa realitas itu statis seperti gambar
diam, melainkan dinamis, bergerak dan mengalir. Secara falsafi, bisa dikatakan
bahwa realitas selalu dalam “proses menjadi”.
Kritik Terhadap Antipositivisme
Setidaknya ada dua
kritik terhadap Antipositivisme. Pertama, Antipositivisme hanya mengambil
sedikit isu dengan dan langsung melakukan generalisasi, sehingga lebih tepat
dianggap sebagai pengantar kepada obyek dari teori sosiologi dibanding metode
analisa ilmiah yang subtantif. Kedua, antipositivisme dianggap sebagai
hasil dari keanehan obyek sosiologi. Antipotivisme yang dalam pandangannya menyangsikan
dan mungkin berlawanan dengan bermacam metodologi ilmiah masih menggunakan suatu
verificationalisme protokol ilmiah. Di satu sisi, Antipositivisme mempertahankan
realisme ilmiah, sedangkan di sisi lain
memerlukan suatu metodologi tegas, dengan menganut suatu praktek
definisi dengan sifat alamiah obyek yang digambarkan sebelum penyelidikan.[4]
Pandangan Subjektif Tentang
Antipositivisme
Antipositivisme dengan
pendekatannya telah banyak memberi kritik terhadap perspektif positivisme.
Pendekatan ini banyak menutupi kelemahan positivisme meskipun tidak menutup
kemungkinan bahwa pendekatan ini juga mempunyai banyak kelemahan seperti klaim
bahwa antipositivisme bisa melahirkan karya yang tidak ilmiah. Meskipun
demikian, metodologi dalam berilmu adalah sebuah pilar penting yang harus
dimiliki oleh seorang ilmuwan. Sedangkan metodologi apa yang akan digunakan
adalah sebuah pilihan. Antipositivisme merupakan pendekatan lebih bisa
menjelaskan realitas dalam rangka mencapai kebenaran. Ilmu politik sebagai
salah satu cabang ilmu sosial merupakan realitas yang dinamis dan selau
bergerak. Sehingga pendekatan anti positivisme lebih cocok menjadi semacam
kendaraan untuk memahami realitas sosial dalam mencapai kebenaran.
[1]
Hasbiansyah, “Menimbang Positivisme”. (Bandung: Jurnal Mediator UNISBA,
2000), Vol. I No.1.
[2] F.
Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskusi Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problema Modernitas. (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
[3] Ibid
[4] Diambil dari perbedaan pandangan dan kritik Adono terhadap
tesis Popper yang menggunakan kerangka penelitian Antipositivisme. Lihat dalam
The Sociological Field:
http://sociologicalfield.wordpress.com/2011/10/25/adornos-critique-of-poppers-anti-positivism/