Rabu, 28 Desember 2011

KRITIK TERHADAP ANTIPOSITIVISME

Kritik Antipositivisme Terhadap Positivisme
Positivisme telah memberikan banyak warna yang khas dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam perannya sebagai suatu pendekatan, cara pandang, perspektif, paradigma, ataupun filsafat ilmu,. Padahal, pada awalnya positivisme digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala alam melalui penelitian empirik. Penganut positivis memiliki pemahaman bahwa gejala alam dapat diukur melalui metode-metode penelitian empirik, sehingga melalui penelitian tersebut didapat hukum-hukum kehidupan (hukum-hukum alam). Hukum-hukum alam tersebut menurut positivisme, hanya merupakan pernyataan keteraturan hubungan yang terdapat di antara gejala-gejala empiris.[1] Untuk menemukan hukum-hukum alam, maka ilmu pengetahuan disusun secara sistematis untuk mengumpulkan data-data empiris. Alam, sebagai objek kajian pemikir positivisme, tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik seperti langit, bintang, bulan, bumi, angin, air, dan sejenisnya. Akan tetapi, manusia dan kehidupannya juga bisa dijadikan objek penelitian, karena manusia dianggap bagian dari alam. Positivisme kemudian lebih dikenal sebagai cara pandang ilmu alamiah.
Menurut Foucault, kaum positivisme terlalu percaya bahwa obyektifitas itu ada. Untuk meyakinkan terhadap kebenaran klaimnya, maka dibuatlah serangkaian aturan atau prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Bagi Foucault tidak ada sesuatu yang obyektif, karena segala sesuatu subyektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta -baik sadar atau tidak- ketika sebuah pengetahuan disusun. Bahkan pengetahuan sendiri muncul, sebagai sesuatu yang subyektif dalam fungsinya mencampakkan gejala unreason atau ketidaksadaran. Pengetahuan selalu bersifat politis, tetapi bukan karena mempunyai konsekuensi politik atau digunakan demi kepentingan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan karena adanya relasi-relasi kuasa. Dan kuasa itu tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalu normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak dapat dilokalisasi, karena ia bekerja lewat aturan dan susunan. Dengan demikian kuasa tidak bersifat negatif, refresif dan subyektif, justru kuasa memiliki ciri positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas dan juga ritus-ritus kebenaran.[2]
Dengan melakukan kritik terhadap susunan pengetahuan, maka gugatan ini dengan tepat meruntuhkan seluruh jantung klaim keabsahan pengetahuan yang demikian di lihat sebagai sesuatu yang mapan. Secara khusus, Foucault melihat kecenderungan operasionalisasi pengetahuan, telah menjadikan ilmu-ilmu kemanusiaan, kehilangan nilai kemanusiaannya. Foucault mencoba memanusiakan kembali manusia.[3]
Dari paparan kritik di atas, dapat dipahami bahwa asumsi utama dari pendekatan Anti positivisme adalah tidak adanya sebuah kebenaran absolut. Kebenaran adalah relatif tergantung dari interpretasi masing-masing individu. Pendekatan ini tidak mempercayai adanya obyektivitas yang benar-benar bisa obyektif terlepas dari nilai-nilai dan subyektivitas seseorang. Realitas sosial yang ada merupakan hasil dari rekayasa manusia. Segala sesuatunya bisa dikonstruksi dan dimanipulasi oleh manusia. Satu hal yang bisa kita pegang adalah bahwa realitas itu statis seperti gambar diam, melainkan dinamis, bergerak dan mengalir. Secara falsafi, bisa dikatakan bahwa realitas selalu dalam “proses menjadi”.

Kritik Terhadap Antipositivisme
Setidaknya ada dua kritik terhadap Antipositivisme. Pertama, Antipositivisme hanya mengambil sedikit isu dengan dan langsung melakukan generalisasi, sehingga lebih tepat dianggap sebagai pengantar kepada obyek dari teori sosiologi dibanding metode analisa ilmiah yang subtantif. Kedua, antipositivisme dianggap sebagai hasil dari keanehan obyek sosiologi. Antipotivisme yang dalam pandangannya menyangsikan dan mungkin berlawanan dengan bermacam metodologi ilmiah masih menggunakan suatu verificationalisme protokol ilmiah. Di satu sisi, Antipositivisme mempertahankan realisme ilmiah, sedangkan di sisi lain  memerlukan suatu metodologi tegas, dengan menganut suatu praktek definisi dengan sifat alamiah obyek yang digambarkan sebelum penyelidikan.[4]

Pandangan Subjektif Tentang Antipositivisme
Antipositivisme dengan pendekatannya telah banyak memberi kritik terhadap perspektif positivisme. Pendekatan ini banyak menutupi kelemahan positivisme meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pendekatan ini juga mempunyai banyak kelemahan seperti klaim bahwa antipositivisme bisa melahirkan karya yang tidak ilmiah. Meskipun demikian, metodologi dalam berilmu adalah sebuah pilar penting yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan. Sedangkan metodologi apa yang akan digunakan adalah sebuah pilihan. Antipositivisme merupakan pendekatan lebih bisa menjelaskan realitas dalam rangka mencapai kebenaran. Ilmu politik sebagai salah satu cabang ilmu sosial merupakan realitas yang dinamis dan selau bergerak. Sehingga pendekatan anti positivisme lebih cocok menjadi semacam kendaraan untuk memahami realitas sosial dalam mencapai kebenaran.


[1] Hasbiansyah, “Menimbang Positivisme”. (Bandung: Jurnal Mediator UNISBA, 2000), Vol. I No.1.
[2] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskusi Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problema Modernitas. (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
[3] Ibid
[4] Diambil dari perbedaan pandangan dan kritik Adono terhadap tesis Popper yang menggunakan kerangka penelitian Antipositivisme. Lihat dalam The Sociological Field: http://sociologicalfield.wordpress.com/2011/10/25/adornos-critique-of-poppers-anti-positivism/